Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Bandung, Yanto Setianto menilai ketidakhadiran Ketua Fraksi PKB, Nasdem, dan Demokrat dalam rapat Banmus melanggar kode etik.
DARA | BANDUNG – Rapat Banmus digelar sebelum rapat paripurna yang beragenda penandatanganan naskah kesepakatan Kebijakan Umum Perubahan Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUPA-PPAS) Tahun 2020.
Yanto mengatakan, disebut melanggar kode etik karena dalam Pasal 10 ayat 1 tertuang tugas anggota dewan diantaranya menghadiri rapat-rapat.
Lalu, ayat 2 menyatakan semua anggota dewan yang hadir harus menandatangani absen.
“Ketidakhadiran mereka pada rapat Banmus dengan alasan mereka yang ditulis dalam sebuah surat melalui fraksi-fraksinya itu tidak berdasar,” lanjutnya ketika ditemui di kantor Komisi C Gedung DPRD Kabupaten Bandung, Soreang, Selasa (8/9/2020).
Yanto yang juga merupakan anggota Fraksi Golkar sangat menyayangkan sikap dari ketiga fraksi itu.
Dengan penolakan terhadap KUPA PPAS dan akibat ketidakhadiran mereka dalam rapat Banmus, kata Yanto, rapat paripurna pun akhirnya dibatalkan.
“Seharusnya para anggota dewan mengedepankan kepentingan rakyat. Melalui anggaran perubahan itu banyak sekali program pengajuan masyarakat melalui musrenbang yang mungkin direalisasikan,” ujarnya.
Yanto juga mengatakan, sebelumnya di anggaran murni 2020 itu banyak sekali program yang anggarannya terpangkas oleh kepentingan penanganan covid-19. Saat inilah harusnya harapan mereka.
Yanto tidak menampik, saat ini banyak yang menduga adanya tiga kubu yang menerima, menolak, dan abstain dalam pembahasan KUPA PPAS itu ada hubungannya dengan Pilkada, dimana setiap kubu yang ada di DPRD sama persis dengan partai pengusung calon Bupati/Wakil Bupati Bandung di Pilkada 2020.
Namun, Yanto dengan tegas mengatakan, kinerja sebagai anggota dewan itu tidak bisa dicampuradukan dengan kepentingan politik.
“Saya sudah tegaskan pada saat Banmus, Pilkada ya Pilkada, kinerja dewan itu kewajiban kita. Jadi jangan dicampuradukan, jangan dibawa-bawa jadi alat bargaining,” tegasnya.
Adanya wacana ketakutan bahwa pengesahan APBD perubahan akan dipakai sebagai alat politik di Pilkada nanti. Yanto mengatakan itu hanya bentuk prasangka buruk dari seseorang atau sekelompok orang saja. Seharusnya, berbicara ilmiah berdasarkan fakta. Apabila ada yang tidak sesuai di forum Banmus itu bisa dikoreksi.
“Misal terkait hibah bansos, itu kan sudah di atur dalam Permendagri No32 tahun 2011 yang sekarang sudah diubah menjadi 39 tahun 2012. Dalam pasal 11 itu disebutkan bahwa hibah bansos itu harus ada CPCL-nya, harus ada MPHD-nya, itu diatur sampai pasal 13,” kata Yanto.
Yanto menyebutkan TAPD tidak mungkin menganggarkan hibah bansos sampai sekian rupiah tanpa ada CPCL yang nantinya akan tertuang di buku putih yang kemudian diparipurnakan.
“Jangan sampailah politik dipakai untuk menduga-duga, jangan tercampur. Urusan pengusungan di Pilkada itu jangan dibawa ke ranah pekerjaan dewan. Itu saran saya, karena yang rugi itu nantinya masyarakat dan dewannya itu sendiri,” imbuhnya.
Terkait dugaan pelanggaran kode etik yang disebutkannya, ia meminta Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Bandung segera melakukan tindakan atau menyelidikinya.
“Bijaksananya sih, yang tidak bisa hadir pada saat rapat itu ikut menyetujui apa yang sudah diputuskan dalam rapat tersebut. Bukan malah sebaliknya. Hargai dong yang sudah hadir meluangkan waktu, tenaga, fikiran untuk menghadiri rapat. Jangan sendirinya minta dihargai, tapi tidak bisa menghargai orang lain,” pungkasnya.***
Editor: denkur