OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
LANTUNAN melodi “Morning Has Broken”-nya Cat Stevens. Nampaknya, belum akan berakhir.
“Pagi Telah Menyingsing”, atau “Morning Has Broken” yang liriknya ditulis Eleanor Farjeon (1971). Berisi harapan!
Harapan sebuah bangsa (baca:Palestina), yang telah lama hidup dalam kegelapan. Tiba-tiba mendapatkan cahaya terang menuju kebebasan, tidak selalu berada dalam “permainan” akut. “Kawan”, atau musuh.
Hari, 19 Januari lalu, mestinya menjadi “Morning Has Broken”. Setelah 15 bulan penduduk Gaza hidup dalam “kegelapan”, tanpa cahaya.
Puluhan ribu ton bom, meratakan 90 persen Gaza. Tempat 2,3 juta penduduk Palestina berdiam.
Apa yang dimulai oleh representasi perjuangan bangsa Palestina 7 Oktober 2023. Yang berakibat fatal “hukum kolektif” Israel, seharusnya sudah cukup! Sekitar 48.000 korban rakyat Palestina berbanding 1.200 rakyat Israel, tak perlu ditambah lagi.
Berjuang mendapatkan hak hakiki, seperti bangsa-bangsa lain yang telah merdeka. Sesungguhnya, itu pokok pangkal mengapa pertumpahan darah tak pernah usai. Ini pertikaian klasik.
Hari, 19 Januari hingga awal medio Maret, adalah hari-hari “Morning Has Broken”. Menghirup udara “abu-abu” yang tak pasti hingga kapan.
Keyakinan kedua bangsa, sebagai pemilik ‘tunggal’ tanah yang merupakan “Mandat Palestina”. Semestinya telah usai, ketika negara-negara Liga Arab mengalah untuk mengakui Israel itu “ada”.
Mesir yang telah memulai mengakui eksistensi Israel lewat kesepakatan Camp David 1978. Dilanjutkan oleh: Uni Emirat Arab, Maroko, dan Sudan, dalam kesepakatan “Abraham 2020”. Itu cukup menjadi pijakan perdamaian inklusif.
Bercermin dari teori “Asal Usul” kritikus, filsuf dan ahli Botani Rusia Nikolai Vavilov (1887-1943). “Kita mungkin akan dibakar hidup-hidup, kita akan menjadi abu. Tetapi kita pantang mundur dari apa yang diyakini”.
Apa yang dilakukan Hamas mungkin ‘linear’ (berbanding lurus) dengan prinsip Nikolai Vavilov. Hamas dianggap menghalangi jalan Israel, menggagalkan terbentuknya negara Palestina.
Sementara Vavilov menghalangi program pangan Jozep Stalin (diktator Rusia). Garis nasib Vavilov, hampir sama dengan pemimpin Hamas: Ismail Haniyah, Yahya Sinwar, atau Abdel Aziz Al Rantisi. Mereka semua tewas di tangan yang berseberangan.
Perdamaian Israel-Palestina yang dideklarasikan 1993 (Oslo/Norwegia). Mestinya, kini telah “maturity” (matang).
Meskipun dalam perjanjian yang ditandatangai PM Israel Yitzhak Rabin dan Ketua PLO Yasser Arafat, belum ada klausul negara Palestina. Namun, langkah saling mengakui antara keduanya, merupakan ‘step’ dialogis.
Sayangnya, “advanced” perjanjian Camp David antara Palestina-Israel (2000), gagal diselenggarakan. Hal ini kemudian diperparah lahirnya gerakan Intifadah. Semua jadi “unmaturity”.
Perserikatan Bangsa Bangsa sendiri telah mengeluarkan resolusi “two state solution” sebagai jalan tengah. Pengejawantahannya adalah menciptakan dua negara di wilayah bekas “Mandat Palestina”.
Resolusi 3236 PBB mempertegas hal itu. Di mana PBB mengakui hak rakyat Palestina, serta tidak sahnya pemukiman Israel di Tepi Barat. Termasuk Yerusalem Timur. Intinya, kembali ke perbatasan sebelum perang tahun 1967.
Kini, penyempurnaan kehancuran Gaza terus membayangi. Kegagalan memasuki gerbang gencatan senjata Tahap-2, makin “abu-abu”.
Restrukturisasi dan pergantian kepemimpinan militer IDF mengindikasikan itu. Bahkan, Kepala Staf Umum Militer Eyal Zamir (pengganti Herzl Halevi) menyebut, Israel akan mengubah cara dan pola melawan Hamas.
Kini, kunci perdamaian permanen, nyaris luruh. Karena Israel tetap pada tekad semula, untuk “melenyapkan Hamas” (belum kesampaian).
Hal lain, memulangkan sandera, mengembalikan warga sipil Israel ke perbatasan, dan meminimalisir ancaman pejuang Palestina di masa datang. Caranya? Hamas tidak boleh lagi ada. Harus lenyap!
Hamas yang kehilangan “patron” Mesir (sejak 1978), lalu kehilangan UAE, Maroko, dan Sudan, kini bertekad memutus “mata rantai” hubungan diplomatik Israel dengan negara Arab lain, utamanya Arab Saudi.
Normalisasi Arab Saudi-Israel (bila tak ada peristiwa 7 Oktober 2023) yang hampir terwujud (prakarsa AS), menjadi berantakan.
Ini adalah kerugian dan penyesalan besar bagi Israel. Karena keinginan menghapus isu Palestina semakin sulit. Arab Saudi adalah pemain kunci untuk isu Palestina.
Peristiwa “Banjir Al-Aqsa”, telah mempersempit “ruang” Israel untuk “meraup” seluruh negara Liga Arab, sekaligus mengisolasinya lewat isu genosida rakyat Gaza.
“Pressure” yang tak kalah beratnya bagi koalisi Partai Likud (PM Netanyahu) dan Sayap Kanan (Radikal) Israel, perpecahan dalam masyarakat Israel: menyangkut sandera, dan keruntuhan ekonomi akibat perang panjang (di luar dugaan).
“Morning Has Broken”. Ya, “Pagi telah menyingsing”. ‘Pagi telah hancur. Seperti pagi pertama. Burung hitam telah berbicara. Seperti burung pertama….seperti embun pertama.
Setelah ini, mungkin akan ada pencipta lagu seperti Cat Stevens: “Gaza Has Broken”.