DARA | BANDUNG – Tokoh masyarakat di Desa Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat, meminta kepada pemerintah daerah untuk mencari solusi atas maraknya masyarakat yang terlilit utang akibat pinjaman kepada bank keliling atau rentenir.
Saat ini, keberadaan bank keliling semakin merajalela di KBB, khususnya di wilayah selatan seperti Cililin, Gununghalu, Sindangkerta, Cipongor, dan beberapa ecaamatan lainnya. Menurut Tokoh masyarakat Desa Weninggalih, Safrudin Hidayat, saat ini keberadaan rentenir cukup masif di wilayahnya.
Banyak masyarakat yang terpaksa menjadi nasabah dari rentenir karena mudahnya mendapatkan pinjaman uang. Bahkan, lanjut dia, ada sejumlah warga yang memutuskan menjadi TKW karena terlilit hutang dari rentenir.
“Ini sangat memprihatinkan, meresahkan, dan merugikan masyarakat, lantaran mudah tergiur dengan prosesnya yang cepat,” ujar Safrudin, saat ditemui di Kantor Pemkab Bandung Barat, Ngamprah, KBB, Rabu (11/9/2019).
Meski tak menyebutkan besaran bunga pinjamannya, kata Safrudin, beban yang ia dirasakan masyarakat sangat berat. Sehingga, ia juga mendorong pengurus RT dan pengurus RW bisa memasang larangan bagi rentenir melalui pemasangan spanduk di wilayahnya.
“Contoh di desa-desa yang ada di Kecamatan Ngamprah, sudah banyak terpasang larangan rentenir masuk ke daeranya,” kata dia.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, dia juga mendorong Pemkab Bandung Barat mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) seperti di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Hadirnya BPR, menurut dia, bisa menjadi solusi bagi masyarakat yang butuh pinjaman uang dengan bunga ringan.
“Jadi masyarakat juga bisa lebih mandiri dengan bantuan modal untuk usaha dan mengoptimalkan potensi di daerahnya, seperti pertanian, peternakan, dan lainnya,” ujarnya.
Menurut dia pula, untuk mendirikan BPR harus memiliki payung hukum Perda. Sehingga, legislatif dan eksekutif harus sama-sama mendorong Pemkab Bandung Barat agar mendirikan BPR yang berdasarkan Perda.
Mendirikan Perda untuk BPR, lanjut dia, bisa muncul inisiasi dari DPRD atau Pemkab. Nanti payung hukum itu bisa menjadi dasar hukum yang mengatur teknisnya.
“Misalkan, suntikan modal itu tidak hanya dari APBD. Tapi bisa juga dikerjasamakan dengan pihak swasta,” ujarnya.
Namun, ia menambahkan, jika BPR tak terwujud maka pemerintah harus mampu mengoptimalkan peran koperasi yang saat ini sudah berdiri di KBB, meski keberadaaan koperasi saat ini belum efektif dalam memberantas rentenir. Keberadaan koperasi di bawah Dinas Koperasi dan UMKM. mencapai ratusan koperasi yang aktif.
“Tapi kan kita tidak tahu apakah itu memang aktif dan berjalan di lapangan? Artinya dinas terkait memiliki tantangan sangat berat untuk ekonomi masyarakat saat ini,” katanya.
Data dari Dinas Koperasi dan UMKM KBB, dari 893 koperasi yang tercatat di daerah ini hanya 490 koperasi yang aktif. Dari jumlah itu pun, hanya 40 persen yang rutin menggelar rapat anggota tahunan (RAT).
“Bahkan, dari 490 koperasi yang aktif tersebut, baru 43 di antaranya yang sudah punya Nomor Induk Koperasi (NIK),” ujarnya.***
Wartawan: Muhammad Zein | Editor: Ayi Kusmawan