OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
“Cinta Pertama” itu, dipertemukan kembali. Dua bintang “old crack”. Yang dipersuakan sutradara Teguh Karya (1974), kini dipadukan oleh sutradara muda berbakat, Rudy Sudjarwo.
Meskipun “Cinta Pertama” Christine Hakim dan Slamet Rahardjo Djarot, berakhir di kisah “Bila Esok Ibu Tiada” (2024). Namun tak urung, seperti mem-“flashback”, “booming” film “Cinta Pertama” bagi anak-anak muda, tepat setengah abad lalu.
Siapkan “tissue”, untuk menguras air mata. Film berdurasi 1 jam 45 menit ini, membawa alam bawah sadar. Sikap kita terhadap Ibu yang mengandung anak-anaknya (kita). Perasaan “durhaka” dan pernah menyakiti hati Ibu, seperti terefleksi dengan menonton film ini. Kita seperti menjadi “tersangka” sekaligus “pesakitan”.
Sebenarnya tak banyak yang tahu, kalau film ini begitu menyentuh. Siang tadi saya ketemu seorang sahabat. Lama nggak ketemu, kita ngopi di sebuah Mal di bilangan Jakarta Timur.
“Mas Sabpri mau kemana, setelah ini? Saya katakan. “Ingin nonton. Udah lama nggak lihat akting Christine Hakim. “Bila Esok Ibu Tiada”, bagus Mas,”demikian sarannya.
“Anak Kecil 10 tahun, nangis gegerungan. Padahal Ibunya bilang. Janji, jangan nangis ya saat nonton,”kata kawan tadi menggambarkan kisah tetangganya.
Sinopsis film ini mengisahkan, Rahmi (Christine Hakim) yang baru kehilangan suami Slamet Rahardjo (Haryo). Bersama Dengan empat anak, Rahmi menialani hari-harinya tanpa suami.
Yang tertua Adinia Wirasti (Ranika) sibuk dengan kariernya. Melupakan kehidupannya, hingga usia 42 tahun belum menikah. Sikap protektif dan ‘bawel’ terhadap ketiga adiknya. Membawa silang pendapat berkepanjangan.
Menuai protes dari adik nomor tiga (Amanda Manopo sebagai Rania), dan adik nomor dua (Fedi Nuril sebagai Rangga), menjadikan pertengkaran di meja makan sebagai hal yang lumrah. Sementara di bungsu Hening (Yasmin Napper), selalu menjadi “korban”, penunggu Ibu dan jadi pelengkap..
Akting Christine Hakim, luar biasa. Tak ada keraguan penonton, bagaimana mumpuninya dia memainkan peran sosok Ibu renta.
Sekali lagi, spesial acungan jempol untuk Adinia Wirasti (Ranika), begitu menjiwai dan merasuk. Membawa penonton pada sebuah “feature”, seperti ikut serta menjadi pemain di dalam “Bila Esok Ibu Tiada”.
Terbayang sisi humanis Michael Corleone (Al Pacino), sekadar komparasi. Dalam “Godfather II”. Saat pulang ke rumah yang pernah dia tinggali bersama adik dan kakaknya: Fredo Corleone, Sonny Corleone, Connie (Talia Shire). Rumah begitu sepi, setelah kepergian ayahnya Vito Corleone (Marlon Brando) dan ibunya Carmela (Morgana King).
Diceritakan. Beberapa saat setelah Rahmi (Ibu/Christine Hakim) meninggal, Ranika masuk ke rumah. Begitu sunyi, hampa. Sama seperti Michael Corleone, sebagai seorang gangster, pun hampa. Ketika keadaan telah berubah. Orang-orang penting seperti Ayah dan Ibu tiada lagi. Sisi humanis membandingkan kedua film berbeda genre ini, sama. Sentimental adalah hal yang bersipat universal.
Sudah ya! Nanti, kalau saya tulis A-Z, Anda nggak mau lagi nonton. Pokoknya, yang pernah menyakiti hati Ibu dalam “derajad” (level) apa pun. Nonton dech. Pasti nangis.