OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
LITERASI, itu penting untuk membangun sepak bola Indonesia. Tanpa literasi, sepak bola tidak bisa dibingkai dengan silabus. Silabus ada, karena nakhodanya berjiwa inklusif, popular, dan kredibel.
Sepak bola hanya akan ber-‘circle’ di seputar tim-tim ‘paria’, bergumul dalam tempurung marjinal. Berbicara di tingkat Asia, apalagi dunia, tak akan terpenuhi. Nakhoda sepak bola tak bisa sembarangan. Asal taruh. Rekam jejak menjadi ‘value’ yang tak terbantahkan.
Dalam lingkup regional ASEAN saja. Sebelum PSSI dipimpin oleh Ketua Umum, Erick Thohir. Atau, sebelum kedatangan pelatih Korea Selatan Shin Tae Yong (STY), prestasi kita sangat terbatas.
Bertanding dengan Malaysia, pencinta sepak bola nasional, acap paranoid. Melawan Thailand, tak pernah yakin menang. Boleh disebut, kalah mental sebelum bertanding. Terakhir, Vietnam menjadi momok baru yang sering menggagalkan Timnas untuk meraih gelar kejuaraan.
Setahun terakhir ini. Puluhan pemain sepak bola “grade A” Belanda, menialani proses naturalisasi. Mereka bukan pemain “kaleng-kaleng, mereka punya nilai tinggi. Mereka mau menjadi pemain Timnas Indonesia, karena sosok “sang nakhoda” yang menjanjikan.
Mengapa sekelas Kevin Diks (FC Copenhagen), Jay Idzes (Venezia), Sandy Walsh (KV Michelen), Calvin Verdonk (Nijmegen), Maartin Paes (Dallas FC), Mees Hilgers (FC Twentee) mau?
Indonesia bukan klasifikasi negara sepak bola mumpuni. Lantas apa yang mereka cari? Daya tarik Erick Thohir, pasti menjadi katalisator penting. Pernah menjadi Presiden klub “mainstream”, Serie A Italia (Inter Milan) lima tahun (2013-2018). Membuat sosok Menteri BUMN ini, satu “benchmarking” dengan nilai riil, yang menjanjikan.
Perombakan eksterior, dan perombakan interior Timnas Indonesia. Menjadi satu konsekwensi logis revolusi lateral, yang menyakitkan. Bagi generasi yang terpotong.
Namun itu harus dilakukan, untuk bangsa yang “gila bola” ini. Fluktuatif prestasi “tanggung”, menjadi “nightmare” yang tak berkesudahan. “Nonton Bareng” (Nobar) timnas negara lain, sejatinya menjadi hal yang tidak semestinya. Seandainya Timnas Indonesia mampu tampil dalam ajang besar, seperti Piala Dunia.
Potong generasi, adalah satu keniscayaan untuk revolusi sepak bola yang dilakukan Erick Thohir, beserta jajaran pengurus PSSI. Sejauh ini, memberi rasa optimistis pada 280 juta populasi Indonesia.
Kedatangan “masif” pemain naturalisasi, menjadikan pemain-pemain usia produktif seperti: Evan Dimas Darmono, Hansamu Yama, Maldini Pali, Ilham Udin, Paulo Sitanggang, M. Hargianto, Ravi Murdianto, dll, seperti “hilang” dari Timnas.
Memperbaiki pola kerja Timnas Indonesia, lewat organisasi PSSI dan penunjukkan pelatih berkualitas. Itulah bentuk perombakan eksterior yang dilakukan Erick Thohir. Hasilnya sudah nampak, dan menjanjikan.
Sementara perombakan interior, PSSI mendatangkan pemain-pemain keturunan Grade A, “ditanam” dalam Timnas Indonesia. Keberadaan Jay Idzes, Raffael Struick, Ivar Jenner dkk, dimungkinkan untuk men-transformasi gaya kompetisi Benua Biru (Eropa) ke Timnas Indonesia secara khusus, dan secara global ke Asia Tenggara.
Penonton puas melihat cara main Timnas Indonesia. Penonton terhibur melihat cara bermain efisien, bermain lateral dan indah. Tidak seperti permainan yang mereka lihat selama bertahun-tahun.
Apresiasi penonton terhadap Timnas Merah Putih, tidak saat memenangkan pertandingan saja. Saat kalah pun, penonton hormat. Saat kalah 0-4 versus Jepang, penonton tetap berada di tribun. Tak beranjak.
Sikap penonton ini dibalas oleh pemain, dengan memenangkan “matchday” ke-6 lawan Arab Saudi 2-0. Hasil ini membuat publik tambah “menyayangi” anak-anak asuhan pelatih Shin Tae Yong (STY). Harapan lolos langsung peringkat ke-2 Group C, semakin terbuka.
Matahari selalu terbit, saat pagi menyingsing. Matahari akan tenggelam saat senja menjelang malam. Kata “manis” ini menafsir ada yang hilang, ada yang didapat.
Kekalahan 0-4 dari Jepang, sebagai tamsil hilang di Timur. Kemenangan atas Arab Saudi sebagai tamsil unggul di Barat. Merujuk pada terbit dan tenggelamnya Matahari.
Lagi-lagi literasi Erick Thohir di mata persepakbolaan dunia. Memberi keyakinan pada pemain-pemain naturalisasi, mereka bisa tumbuh lebih inklusif. Bermain dengan timnas, punya atmoshfer tersendiri. Terlebih saat kejuaraan dunia, atau Benua.
Para “talent scouting” klub-klub besar Eropa, akan memantau mereka saat kejuaraan-kejuaraan resmi FIFA: Pep Guardiola (Manchester City), Brian Priske (Feyenoord), Diego Simeone (Atletico Madrid), Hansi Flick (Barcelona). Bisa membuat mereka naik kelas.
Keberadaan Erick Thohir, dengan program naturalisasinya yang masif. Telah meluluhkan perasaan dan pikiran ‘intrusif’. Berupa kecemasan, dan negatif terhadap Timnas Indonesia, saat bertanding.
Perasaan takut kalah (intrusif), dan paranoid perlahan hilang. Yang muncul adalah sikap optimistis dan keyakinan menang Timnas Indonesia lawan siapa pun. Terus menguat.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir, telah merubah wajah Timnas Indonesia. Ke arah yang semestinya.