DARA | Selain buku harian, banyak tokoh yang juga meninggalkan surat-surat pribadi usai dirinya meninggal. Tercatat, sejumlah tokoh Indonesia yang tak lain adalah pahlawan nasional, meninggalkan surat pribadinya. Banyak yang begitu romantis. Berikut sejumlah surat pribadi pahlawan nasional.
1. Surat Cinta Bung Karno untuk Dewi Soekarno
Ratna Sari Dewi alias Naoko Nemoto menikah dengan Bung Karno pada 1962. Kala itu usia wanita asal Jepang itu masih sangat muda yakni 19 tahun. Dari pernikahannya itu, ia dan sang Proklamator dikaruniai anak perempuan bernama Kartika Sari Dewi Soekarno.
Soekarno yang begitu mencintai Ratna Sari Dewi diketahui juga pernah menuliskan sebuah surat cinta untuk istrinya tersebut. “Kalau aku mati, kuburlah aku di bawah pohon yang rindang. Aku mempunyai istri yang aku cintai dengan segenap jiwaku, namanya Ratna Sari Dewi. Kalau ia meninggal kuburlah ia dalam kuburku, aku menghendaki ia selalu bersama aku.”
- Surat Wasiat Bung Hatta
Putri proklamator Bung Hatta, Meutia Hatta, mengatakan bahwa sebelum meninggal ayahnya sempat menulis dua surat wasiat. Satu surat ditujukan kepada keluarganya, berisi permintaan agar dia tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. “Saya ingin dikuburkan di kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya,” kata Hatta dalam surat wasiatnya
3. Sutan Sjahrir untuk Istrinya Maria Duchateau
Sepanjang hidupnya Sutan Sjahrir menikah dua kali. Pada 1932, ia menikah secara Islam dengan Maria Duchateau di Medan. Kedua, dengan Siti Wahyunah atau Poppy pada Mei 1951.
Usai lima minggu menikah pada 1932, Duchateau terpaksa diasingkan ke Belanda. Sedangkan Sjahrir berada di pembuangan di Boven Digul, Papua. Dalam pengasingan, Sjahril sering menuliskan surat untuk Maria.
Dari 1932-1940, Maria telah menerima 287 surat dengan panjang tulisan antara 4-9 halaman. Salah satu cuplikan surat cintanya kepada Maria misalnya, “Apa yang tak kutemukan di dalam filsafat, aku temukan pada dirimu”.
4. Surat Tan Malaka kepada Dick Van Wijngaarden
Setelah Kembali ke Indonesia (1919) Tan Malaka melakukan surat menyurat dengan rekan-rekannya di Belanda. Salah satunya dengan Dick Van Wijngaarden.
Dalam suratnya 5 Januari 1921, Tan mengaku tak betah menjadi pengajar di perusahaan perkebunan Senembah di Deli Serdang, Sumut. Ia tak betah bukan karena menerima murid-murid kuli kontrak, namun terlibat konflik berkepanjangan dengan pembesar perkebunan. Karena hal itu Tan memilih mengundurkan diri.
5. Surat H Agus Salim untuk Istri
Usai Yogyakarta jatuh masa Agresi Militer II, para pemimpin Republik diasingkan ke Sumatra. Termasuk H Agus Salim yang dibuang ke Berastagi, sebelum dipindah ke Parapat. Selama di pembuangan, Agus Salim banyak menulis surat untuk sang istri, Zainatun Nahar.
Salah satu surat seperti dicuplik dari buku “Seratus Tahun Haji Agus Salim”. “Dinda sayang, terima kasih atas surat Dinda yang menyenangkan hati itu. Dalam keadaan yang sesungguhnya merupakan bala, masih juga dapat kita menyaksikan nikmat Allah subhana wa ta’ala yang dalam kesukaran dapat juga memberi kelapangan.” ***
Editor: denkur
Artikel ini pernah ditayangkan Sindonews