Oleh: Agus Dinar
Ada potensi ruang pengap di tahun politik sekarang ini.Itu tercipta akibat narasi narasi dari para pihak yang tengah berjuang meraih kekuasan baik di legislatif maupun eksekutif dan senator (Dewan Perwakilan Daerah/DPD). Ruang itu tercipta sebagai akibat narasi, kritik yang berujung pada saling hujat di kalangan elite.
Terkhusus pada para pemangku Calon Presiden yang akan nasibnya ditentukan pada April 2019 nanti, menerbitkan kata-kata yang membuka ruang untuk terjadinya perselisihan antarpendukung atau simpatisan dan atau calon pemilih di kalangan masyrakat.
Tim sukses kedua kubu tak jarang melontarkan narasi yang memancing suasana panas baik bagi kalangan elite pendukungan maupun di kalangan masyarakat. Tunjuk contoh kata politisi “genderuwo”,politisi “Sontoloyo” “wajah Boyolali” “sarjana ojek”. Kata-kata ini serta merta mendapat reaksi keras dari masyarakat. Lebih parah lagi di sejumlah acara talk shaw televisi, soal ini dibahas habis dengan berbagai argumen yang tak melahirkan kesejukan bagi publik.
Dialog di talk show televisi dan bahkan di arena kampanyepun seakan membuka ruang bagi publik untuk masuk pada pusaran konflik. Tahun ini kata orang adalah tahun politik. Pertanyaanya apakah di tahun politik ini harus dimaknai sebagai tahun konflik publik, paling tidak konflik pada kata-kata?
Aksi lontaran kata-kata (narasi) berhastag apalagi, boleh juga diartikan sebagai pancingan bagi munculnya konflik itu. Ini jika disikapi oleh masyrakat yang sarat kepentingan dukunganya pada salah satu calon presiden sebagai hal yang harus dinetralisasi atau di balas juga dengan narasi yang menyudutkan pihak lawan politiknya.
Kita memaklumi dalam kancah pesta demokrasi ini semua pihak berkepentingan untuk menanamkan pengaruh dan merebut simpati masyarakat agar pada saatnya nanti memilih pasangan presiden yang didukungnya.
Jika dicermati masyarakat Indonesia sejak Pemilu 2014, mulai disuguhi tontonan konflik antardua kubu. Bahkan masyarakatpun dikenalkan dengan terang benderang adanya oposisi. Posisi tersebut sudah pasti antara pemerintah atau kelompok propemerintah dengan kubu oposisi, sebut yang berlawanan dengan pemerintah.
Kondisi ini memunculkan aksi saling mengkritik yang kadang-kadang memancing suasana panas publik yang di luar area dukung mendukung atau antara yang pro dan kotra. Bahkan tak jarang pada kekinian aksi saling kritik itu berlanjut pada situasi saling hujat.
Aksi saling hujat ini bukan hanya terjadi di kalangan elite pendukung yang berada di ring1 atau 2 pada struktur tim sukses. Tetapi terjadi pula pada tataran masyarakat secara luas, yang sudah pasti di kalangan masyarakat luas pun terjadi pro dan kontra itu.
Suka ataupun tidak suka, aksi-aksi ini menyeret warga negeri ini pada kubangan yang pengap. Seakan tak ada ruang untuk menyatakan sesuartu dengan nada merdu yang menghadirkan suasana damai.
Kalau begitu apa sebenarnya yang harus terjadi dalam negara dengan sistim demokrasi seperti Indonesia saat ini? Dalam konsep demokrasi, pemerintah dan oposisi pada dasarnya memiliki target yang sama yaitu , memajukan bangsa, mengharumkan negara, dan mensejahterakan rakyat.
Tetapi faktanya saat ini adalah pemerintah atau penguasa seakan menitikberatkan semua upayanya untuk melanggengkan pemerintahannya,(baca:kekuasaanya) dengan membangun citra yang baik secara terus-menerus. Di sisi yang lain oposisi berupaya dengan berbagai cara untuk merebut kekuasaan.
Pihak pemerintah mengarahkan opini publik dengan berbagai narasinya utnuk memberi pembenaran atas beberapa kebijakan yang dilansirnya, bahwa sudah memenuhi keinginan dan semata untuk kepentingan rakyat. Tak beda dengan pihak oposisi,yang membangun opini bahwa pemerintah telah gagal dalam menjalankan pemerintahan, namun menyembunyikan informasi yang sebenarnya memiliki arti yang substansial.
Kedua upaya baik dari pemerintah maupun oposisi ini menimbulkan multi penaapsiran pada benak masyarakat sesuai dengan kepentingan dukunganya. Boleh jadi, di benak para pendukung oposisi muncul pemikiran bahwa, situasi negara sudah genting, dan pemerintahan sekarang sudah saatnya diganti. Maka terbitlah hastag #2019gantipresiden. Malah tak jarang kubu opoisisi melontarkan informasi di berbagai forum bahwa perekonomian Indonesia terpuruk. Indonesia darurat utang yang jumlah sudah hampir Rp5000 Triliun.
Jika masyarakat jeli pada saat penyampaian informasi dari kubu oposisi tersebut, ada informasi lain yang menjadi penyeimbang. Informasi yakni soal PDB. Dalam informasi yang utuh adalah bahwa saat utang bertambah, PDB juga naik. Sehingga rasio utang terhadap PDB masih 29%.
Masyarakat jika terjebak pada narasi narasi dari keduabelah pihak pastikan saja bahwa ruanbg konflik horizontal bakal lebih menganga. Ini jangan sampai terjadi. Maka seyogyanya masyarakat kini harus lebih cerdas dan memberikan makna pada posisinya dalam negara yang demokratis ini.