MASYARAKAT diharapkan tidak lagi membakar untuk memulai pengelolaan lahan gambut. Pesan itu disampaikan Akhmad Tamanruddin atau biasa disapa Pak Taman kepada mereka yang menggunakan abu untuk menyuburkan tanah.
“Lahan yang di sana lebih rendah dibandingkan di sini (lahan miliknya),” ucap Pak Taman sambil menunjuk lahan tetangga di sebelah yang sedang digarap, Jumat (16/8) di Kalampangan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Lahan yang rendah itu, menurut dia, akibat gambut itu dulunya dibakar terlebih dahulu oleh pemiliknya. Lahan miliknya terlihat tinggi, tertata rapi, dan tampak beragam tanaman di lahan seluas 2 hektar tersebut.
Taman adalah salah satu binaan Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Tengah sejak 2004 yang berhasil mengembangkan lahan miliknya. Dia tidak menggunakan teknik membakar untuk mendapatkan kesuburan tanah melainkan dengan membuat media tanam (mineral dressing), yang terdiri atas tanah subur, dolomit, dan kotoran ternak, selain itu juga mencampurnya dengan pupuk organik.
“Cara saya mengolah lahan gambut tanpa bakar adalah dengan tahapan lahan gambut yang sudah bersih dari akar pakis (kalakai) dibuat guludan (baluran) yang lebarnya maksimal sedepa, agar guludan dapat dibersihkan dari kedua sisi,” katanya.
“Selanjutnya, buat lubang tanam dengan jarak menyesuaikan kebutuhan tanaman yang akan ditanam, misal untuk cabai 40 x 40 cm,” ujar dia.
Tahap berikutnya, lanjut petani yang kerap diundang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman ini, lubang tanam diberi media tanam yang sebelumnya sudah ia siapkan sebanyak satu genggam per lubang tanam. Perawatan guludan dilakukan dengan mengembalikan tanah guludan yang sempat terbawa air hingga berada pada bagian bawah guludan, dikembalikan ke atas.
Yang ia hasilkan saat ini dipetiknya melalui jerih payah dan keuletannya sebagai transmigran yang tiba di Kalimantan Tengah pada 1980 ini. Dia hampir dibuat putus asa kala itu, ketika sebagian transmigran lainnya memilih untuk kembali ke Jawa karena sulit mengolah lahan gambut.
Di sisi lain, sebagian warga memilih membakar lahan gambut untuk menyuburkan tanah. “Jika membakar gambut justru permukaan gambut itu akan turun dan akhirnya menjadi rawa.”
Selain itu, melakukan penyiapan lahan dengan bakar itu menurut dia, merugikan, karena menyebabkan penurunan permukaan gambut dan membunuh jutaan mikroorganisme yang hidup di dalam tanah. Dia juga punyai teknik yang dipelajarinya dari karakteristik gambut.
Lebih dari seribu petani dari Kalimantan Tengah dan wilayah lain telah belajar darinya. Dia berharap tidak ada lagi yang mengolah lahan gambut dengan cara membakar.
Salah satu teknik yang dia pelajari, yakni menggunakan dolomit, tanah subur dan kotoran hewan yang dibutuhkan untuk menunjang kesuburan tanaman atau media tanam. Upaya itu untuk mengalahkan sifat asam gambut dan kemudian dia berhasil dengan pendekatan agroforestry seperti sekarang.
Sementara itu, Peneliti Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Banjarbaru, Marinus Kristiadi Harun, menyebutkan, pendekatan agroforestry yang dikelola Taman itu memanfaatkan tanaman keras seperti Jelutung Rawa (dyera pollyphylla) serta tanaman pertanian, seperti cabai, jagung, dan ubi kayu. “Lahan gambut yang di milik Pak Taman secara teori termasuk kawasan kubah gambut. Namun terlanjur dijadikan sebagai lahan pertanian intensif.”
Oleh karena itu, sistem agroforestry menjadi salah satu sistem budidaya yang dipromosikan oleh Balai Litbang LHK Banjarbaru sebagai sistem yang ramah lingkungan. Sistem ini mampu menjembatani fungsi produksi dan fungsi perlindungan (konservasi) di lahan gambut.
“Sesuai dengan prinsip kelestarian, sesuatu bisa lestari berkelanjutan apabila ada keseimbangan antara aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek ekologi atau lingkungan,” ujar Marinus.
Balai Litbang tempat dia bekerja juga mengembangkan beberapa sistem pertanian tanpa bakar, seperti pembuatan bahan organik lahan dengan gulma lahan dan semak belukar. Menurut dia, bahan organik tersebut dapat diolah menjadi barang bernilai ekonomi.
Marinus mencontohkan produk itu dengan media tanam, pupuk hayati, kompos blok, dan pelet energi. Pupuk tersebut telah dikembangkan di Tumbang Nusa dan pelet di Sebangau Mulya, Kalimantan Tengah.
Berbeda dengan Taman yang mengembangkan agroforestry, Roudhatul Jannah, bersama suami melakukan pendekatan agrosilvofishery. Tampak di lahan seluas 500 m2 beberapa jenis tanaman yang ditanam berdekatan dengan kolam ikan.
Dalam kolam ikan, Roudhatul beternak jenis ikan gabus, sepat, dan gurami. Ikan yang dipeliharanya tidak hanya untuk dikonsumsi, limbahnya dimanfaatkan sebagai pupuk.
Air kolam yang sudah tercampuk dengan limbah ikan tadi kemudian disalurkan menuju bak yang setiap saat digunakan sebagai pupuk organik tanaman yang telah disiapkan pada guludan. Alhasil tanaman dapat tumbuh subur dan dapat dipanen dengan nilai ekonomi tinggi.
Hasil panen seperti seledri, selada, dan segau, tanaman khas Kalimantan Tengah, mampu menghidupi keluarga tanpa harus membuka lahan dengan cara membakar.***
Dikutip dari: bnpb.go.id | Editor: Ayi Kusmawam