Sampah dan lalat sejatinya memang tak bisa dipisahkan. Di mana sampah bertumpuk, lalat biasanya tumbuh dan berkembang biak.
Bagi orang awam, keberadaan sampah dan lalat biasanya dianggap menjijikkan. Terlebih dari sudut pandang kesehatan, lalat memang dianggap sebagai salah satu binatang pembawa penyakit.
Kendati demikian, ternyata tidak semua lalat berdampak negatif dan mendatangkan penyakit. Jenis Lalat Tentara Hitam atau Black Soldier Fly (BSF) berbeda dengan jenis lalat lainnya. BSF justru memberi manfaat positif dari segi ekonomi bagi masyarakat.
Jika dikembangbiakkan dengan baik, maka larva BSF atau yang dikenal juga dengan sebutan maggot, bisa digunakan untuk pakan ternak yang lebih efisien dan ekonomis. Maggot bisa menggantikan pakan konvensional yang lebih mahal untuk unggas, ikan dan sejumlah ternak lainnya.
Lebih jauh lagi, budidaya BSF pun bisa menjadi salah satu solusi yang baik dalam menangani masalah sampah, terutama sampah organik. Soalnya BSF memang memakan dan mengurai sampah organik tersebut menjadi pupuk organik yang juga lebih murah dan lebih ramah lingkungan ketimbang pupuk kimia.
Dengan manfaat seperti itu, tak heran saat ini banyak masyarakat yang serius menggeluti budidaya BSF di berbagai daerah. Salah satunya adalah masyarakat di Kampung Mahmud, Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Salah seorang peternak BSF di Kampung Mahmud, Teguh Gunadi mengatakan, ia dan rekan-rekannya terinspirasi untuk membudidayakan BSF karena seringkali melihat tumpukan sampah di sembarang tempat. Namun setelah budidaya BSF berjalan, sedikit demi sedikit masyarakat di sekitar lokasi mulai mengalami perubahan perilaku.
“Masyarakat di sekitar sini mulai mau memilah dan memberikan sampah organik mereka kepada kami untuk budidaya BSF. Sebagai timbal bali, kami memberikan bahan kebutuhan pokok bagi masyarakat, setidaknya sekali dalam sebulan,” kata Teguh saat ditemui di kediamannya, Kampung Mahmud, Jumat (21/2/2020).
Selain itu, kata Teguh, budidaya BSF menyediakan lapangan pekerjaan tersendiri bagi sejumlah warga. Oleh karena itu, ia meyakinkan bahwa dengan budidaya BSF, sampah organik tak lagi menjadi musuh tetapi justru menjadi sumber rezeki.
“Saat ini rata-rata produksi maggot BSF di kami mencapai 200 kilogram setiap hari. Dengan berbagai produk sampingan lainnya, total omset kami mencapai Rp 30 juta per bulan,” ungkapnya.
Teguh berharap, budidaya serupa juga bisa dilakukan oleh masyarakat di desa-desa lain. Jika tidak membentuk kelompok mandiri, maka setidaknya pemerintah desa setempat bisa memberdayakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Menurut Teguh, masyarakat tidak perlu khawatir apalagi takut budidaya BSF bisa menimbulkan bau dan terkesan menjijikkan seperti halnya kerumunan lalat di tumpukan sampah pada umumnya.
“Jika dilakukan dengan baik dan benar, maka budidaya BSF itu mudah, murah dan tidak menimbulkan bau atau dampak negatif lain,” ucapnya.
Tak perlu menunggu lama, siklus hidup BSF yang singkat juga membuat budidayanya hanya membutuhkan waktu sekitar 40 hari sampai panen. Oleh karena itu nilai ekonomisnya pun bisa segera dirasakan.
Wartawan: Muhammad Zein