Gunung Semeru erupsi. Awan panas bergantungan di langit Lumajang. Puluhan korban pun berjatuhan, tewas dan terluka. Ratusan rumah hancur dan penghuninya mengungsi ke sejumlah tempat, aman.
Itu terjadi ditengah pandemi yang masih menerjang, meski melandai. Semeru benar-benar murka. Kepulkan awan panas menyapu wilayah yang tersapu. Luluh lantak, terbakar dan terpanggang, rumah, pepohonan dan binatang. Berserakan tak karuan.
Tentu, pemerintah tak tinggal diam. Semua penggede serentak berangkat kesana. Berjibaku bersama pihak swasta dan sukarelawan, gelar upaya penanggulangan hingga beres teratasi. Namun, Semeru masih serukan ancaman, sehingga jangan lengah dari kewaspadaan.
Putar ke arah barat, ada tragedi yang tak kalah ganasnya dari erupsi Semeru. Ada belasan gadis jadi korban cabul seseorang yang ngakunya sebagai guru ngaji. Tapi tentu bukan, karena guru ngaji tidak begitu. Bahkan, kalau nggak salah ada sembilan yang hamil dan melahirkan. Coba bayangkan, ngerinya.
Sang pelaku, tampaknya punya napsu sahwat sedasyat erupsi Semeru. Meledak-ledak, ganas laksana awan panas. Siapakah dia? Inisial saja yaitu HW. Umurnya masih tergolong muda, baru 30 tahunan. Kini sudah diproses pengadilan.
Tak ubahnya penanganan korban Semeru, di kasus cabul ini pun sejumlah pihak fokus memberi perhatian serius. Pasalnya, kasus serupa juga terus terjadi di sejumlah daerah. Bahkan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga mengatakan kekerasan seksual terhadap perempuan makin marak. Mengerikan dan memprihatinkan.
Tapi itu jadi ‘alarm’ peringatan bagi semua pihak untuk merapatkan barisan mencegah terjadinya kasus serupa di kemudian hari.
Bu Menteri berharap fakta kekerasan seksual yang terjadi terus menerus dapat mendorong semua pihak yang berkepentingan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). “Pemerintah sangat mengharapkan RUU TPKS segera disahkan sebelum akhir 2021.
Sangat menyesalkan adanya fakta bahwa keluarga, lembaga pendidikan, orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak, justru di berbagai kasus kekerasan seksual menjadi pelaku.
Maka, tidak boleh ada toleransi sekecil apapun terhadap kekerasan seksual, siapapun pelakunya.
Lalu soal lembaga pendidikan, Bu Menteri menyampaikan pentingnya peran para pihak, mulai dari pengelola lembaga pendidikan, pengajar, dan orang tua untuk mencegah dan menangani kekerasan di satuan pendidikan.
Pengawasan harus dilakukan sangat ketat dengan melibatkan orang tua, jangan hanya menyerahkan pengawasan pada lembaga pendidikan. Kita dapat mengambil ‘hikmah’ dari banyaknya masyarakat yang berani bicara dan melaporkan kejadian di sekitarnya, semakin banyak yang melaporkan kasus kasus pelanggaran hak perempuan dan anak seperti kekerasan seksual, maka akan semakin banyak perempuan dan anak yang terselamatkan.
Kekerasan seksual akan meninggalkan luka di hati setiap korbannya, berdampak buruk pada mental dan psikis. Hal tersebut menjadi pengalaman buruk yang sangat berpengaruh pada mental korban terlebih pada tumbuh kembang anak. Untuk itu, mari kita bergandengan tangan selamatkan perempuan dan generasi penerus bangsa dari segala bentuk kekerasan khususnya kekerasan seksual.
Sisi penegakan hukum sangat diperlukan, keadilan hukum harus ditegakkan, dan pelaku harus mendapat ganjaran hukuman sesuai aturan yang berlaku. (laman resmi PPPA).
Banyak cerita yang terjadi diakhir tahun ini, atau sebut saja sepanjang tahun 2021. Tak hanya yang gitu-gituan, tapi juga persoalan politik, ekonomi dan juga agama. Semoga di tahun 2022, Indonesia damai.***
Editor: denkur