Kapan pertama kali pemilihan umum alias Pemilu dilaksanakan di Indonesia?
DARA | Indonesia memiliki sejarah panjang dalam politik tanah air.
Pemilu pertama dilaksanakan tahun 1955. Digelar dua kali yaitu untuk memilih anggota DPR pada 29 September 1955 dan pemilihan anggota Konstituante pada 25 Desember 1955.
Berikut sejarah singkat Pemilu tahun 1955, sebagaimana dikutip dari situs resmi kpu.go.id, Rabu (27/12/2023):
Sistem Pemilu
Sistem Pemilu tahun 1955 adalah kombinasi antara sistem distrik dan sistem perwakilan berimbang dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Sistem Distrik
- Wilayah negara dibagi atas distrik-distrik pemilihan, yang didasari pada jumlah penduduk,
- Jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditetapkan sama dengan jumlah distrik,
- Tiap distrik pemilihan, memilih seorang anggota badan perwakilan rakyat,
- Pemilih, memilih orang atau calon yang diajukan organisasi peserta Pemilu,
- Penetapan terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Sistem Perwakilan Berimbang,
- Wilayah negara ditetapkan sebagai satu daerah pemilihan, namun dalam pelaksanannya dapat dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang bersifat administratif,
- Jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk, misalnya tiap 4000.000 penduduk mempunyai seorang wakil,
- Tiap daerah pemilihan memilih lebih dari sorang wakil,
- Pemilih, memilih Organisasi Peserta Pemilu (OPP), namun demikian OPP mengajukan calon-calonnya yang disusun dalam satu daftar,
- Penetapan jumlah kursi yang akan diperoleh tiap organisasi peserta Pemilu seimbang dengan besarnya dukungan pemilih, yaitu jumlah suar yang diperoleh,
- Calon terpilih diambilkan dari nama-nama yang terdapat dalam daftar calon, berdasarkan nomor urut calon, jika menganut sistim daftar mengikat dan perolehan suara masing-masing calon, jika dianut sistim daftar bebas.
Sistim Kombinasi, merupakan penggabungan antara sistim distrik dan sistim perwakilan berimbang. Misalnya jumlah anggota badan perwakilan rakyat ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk, kemudian sebagian besar dari anggota ditetapkan sebagai wakil distrik melalui pemilihan dengan sistim distrik dan sebagian kecil ditetapkan mewakili OPP, yang perhitungannya menggunakan OPP yang tidak memperolah wakil pada pemilihan dengan sistim distrik.
Badan Penyelenggara Pemilu
Untuk menyelenggarakan Pemilu dibentuk badan badan penyelenggara pemilihan, dengan berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und.Tanggal 23 April 1953 dan 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953, yaitu :
Panitia Pemilihan Indonesia (PPI): mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR. Keanggotaan PPI sekurang-kurangnya 5 orang dan sebanyak-banyaknya 9 orang, dengan masa kerja 4 tahun.
Panitia Pemilihan (PP) : dibentuk di setiap daerah pemilihan untuk membantu persiapan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. Susunan keanggotaan sekurang-kurangnya 5 orang anggota dan sebanyak-banyaknya 7 orang anggota, dengan masa kerja 4 tahun.
Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) dibentuk pada tiap Kabupaten oleh Menteri Dalam Negeri yang bertugas membantu Panitia Pemilihan mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstitusnte dan anggota DPR.
Panitia Pemungutan Suara (PPS) dibentuk di setiap Kecamatan oleh Menteri Dalam Negeri dengan tugas mensahkan daftar pemilih, membantu persiapan pemilihan anggota Konstitusnte dan anggota DPR serta menyelenggarakan pemungutan suara.
Keanggotaan PPS sekurang-kurangnya 5 orang anggota dan Camat karena jabatannya menjadi ketua PPS merangkap anggota. Wakil Ketua dan anggota diangkat dan diberhentikan oleh Panitia Pemilihan Kabupaten atas nama Menteri Dalam Negeri.
Pelaksanaan Pemilu 1955
Ini Pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun.
Kalau dikatakan Pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.
Namun, yang jelas sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946.
Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik.
Maklumat tersebut menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946.
Kalau kemudian ternyata Pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, Pemilu 1955 dilakukan dua kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa Pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri.
Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan Pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara.
Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif.
Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya Pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu dan belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam.
Dengan kata lain, para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan Pemilu.
Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan Pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No12 tahun 1949 tentang Pemilu.
Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung).
Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf. Sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan Pemilu sebagai program kabinetnya.
Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen.
Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan Pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang Pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu.
UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis.
Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya.
Karena itu, sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan Pemilu dengan segala cara. Karena Pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Inilah Perolehan Suara Lima Partai Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.
1.Partai Nasional Indonesia (PNI) meraih 8.434.653 suara atau 22,32 persen dan mendapat 57 kursi
2.Masyumi meraih 7.903.886 suara atau 20,92 persen dan mendapat 57 kursi
3.Nahdlatul Ulama (NU) meraih 6.955.141 suara atau 18,41 persen dan mendapat 45 kursi
4.Partai Komunis Indonesia (PKI) meraih 6.179.914 suara atau 16,36 dan mendapat 39 kursi
5.Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) meraih 1.091.160 suara atau 2,89 persen dan mendapat 8 kursi
Editor: denkur