DARA | JAKARTA – Sejumlah perusahaan pers belum membayarkan tunjangan hari raya (THR) keagamaan kepada para pekerjanya jelang Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah. Krisis ekonomi akibat pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) jadi salah satu alasan.
Dilansir cnnindonesia.com, Posko Pengaduan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat pada 3 April hingga 17 Mei 2020, sedikitnya terdapat 89 pengaduan kasus ketenagakerjaan pada masa pandemi.
Sebanyak 52 dari 89 pengaduan terkait pelanggaran dalam pembayaran THR. Jenis pelanggaran itu antara lain berupa pemotongan jumlah THR, penundaan atau pencicilan hingga THR tidak dibayarkan sama sekali.
Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani menjelaskan ketentuan mengenai THR telah diatur dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan dan Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 Tentang THR Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Aturan itu menyebutkan, setiap pengusaha memiliki kewajiban untuk membayarkan THR keagamaan kepada para pekerja, khususnya bagi yang telah mempunyai masa kerja satu bulan atau lebih. Namun, praktiknya tidak sesuai dengan ketentuan PP Nomor 78 Tahun 2015 dan Permenaker Nomor 6 Tahun 2016.
“Banyak perusahaan yang kerap menjadikan situasi pandemi sebagai alasan untuk memotong, menunda, dan bahkan memutuskan untuk tidak membayarkan THR keagamaan kepada pekerja secara sepihak,” ujar Asnil.
AJI Jakarta dan LBH Pers menilai pemotongan atau penundaan pembayaran THR dengan dalih pandemi Covid-19 tidaklah tepat. Hal itu tetap harus dianggap sebagai keterlambatan pembayaran atau tidak melakukan pembayaran THR.
Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin menjelaskan, dalam Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 78 Tahun 2015 menyebutkan THR wajib dibayarkan paling lama 7 hari sebelum hari raya keagamaan. Pengusaha yang tidak membayar THR pada waktu yang ditentukan harus membayar denda 5 persen dari total THR. Hal itu diatur pada Pasal 56.
“Perusahaan yang tidak membayar THR pekerja dapat dikenakan sanksi administrasi, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 59 ayat (1) PP Pengupahan,” kata Ade.
Ade menyebutkan, jenis sanksi administrasi itu antara lain berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan bahkan hingga pembekuan kegiatan usaha.
“Data Posko Pengaduan AJI Jakarta dan LBH Pers mencatat, dari total 89 pengaduan yang masuk, jenis pengaduan yang murni hanya terkait persoalan pembayaran THR ada 4 orang,” ujarnya.
Namun jenis persoalan ketenagakerjaan lainnya menyangkut dengan persoalan pembayaran THR yang muncul pada momentum tenggat pembayaran H-7. Antara lain PHK 31 orang, mutasi 1 orang, dirumahkan dengan pemotongan gaji 36 orang, pemotongan dengan penundaan gaji 13 orang, tidak digaji sepenuhnya 3 orang, dan kontrak kerja tidak jelas 1 orang.
Persoalan ketenagakerjaan itu terjadi di 17 perusahaan media. Ade mengatakan, dilihat dari jenis perusahaan media yang dilaporkan, media televisi paling banyak mengalami persoalan ketenagakerjaan, yakni sejumlah 42 pengaduan.
Sementara berdasarkan survei Nielsen Indonesia, pandemi menyebabkan kepemirsaan televisi semakin bertambah. Hal ini menyebabkan belanja iklan kembali meningkat sejak awal Mei, meski sempat melemah pada April. “Hal ini menjadi ironi, karena laporan terbanyak justru dari media televisi,” ucapnya.
Platform media terbanyak kedua yang memiliki persoalan ketenagakerjaan adalah media siber, yakni 30 pengaduan. Selanjutnya, media cetak sejumlah 10 pengaduan dan media radio sejumlah 5 pengaduan. Sementara pengaduan yang lain berasal dari perusahaan non-media.
Atas situasi tersebut, AJI Jakarta dan LBH Pers mendesak perusahaan media membayar THR keagamaan kepada para pekerja sesuai dengan jumlah dan waktu pembayaran sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, mereka juga mendesak perusahaan memenuhi hak-hak ketenagakerjaan para pekerja selama masa pandemi. Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan struktur kedinasan di bawahnya juga didesak untuk memastikan pengusaha membayar THR pekerjanya.
“Bagi perusahaan yang melanggar dan tidak memiliki itikad baik, maka pemerintah tidak boleh ragu untuk menerapkan sanksi sebagaimana diatur pada PP Pengupahan,” tegas Ade.***