Ketika Rasulullah ﷺ tiba kembali ke Makkah setelah menjalani Isra’ dan Mi’raj guna menerima perintah shalat dari Allah Ta’ala, beliau bertemu penduduk Makkah. Beliau bercerita bahwa beliau baru saja mengunjungi suatu tempat yang jauh dalam sebuah perjalanan yang luar biasa.
Masyarakat Makkah lalu bertanya, “Ke mana?”
Rasulullah ﷺ menjawab, “Baitul Maqdis.”
Masyarakat Makkah bertanya lagi, “Apakah maksudmu Iliya’?”
Rasulullah ﷺ menjawab, “Ya.”
Dari Hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani ini kita menjadi paham bahwa masyarakat Makkah ketika itu memahami Baitul Maqdis sebagai Kota Iliya’.
Kota Iliya’ sendiri adalah nama lain dari Yerusalem. Nama Iliya’ berasal dari Aelia Capitolina, diberikan oleh Kaisar Romawi, Hadrianus, setelah berhasil merebut Yerusalem dari tangan orang-orang Yahudi pada tahun 73 SM.
Jadi, dengan kata lain, Baitul Maqdis adalah Yerusalem, khususnya kota tua yang dibatasi oleh tembok. Namun, apakah mutlak seperti itu? Ternyata tidak juga.
Ada masyarakat Muslim yang menganggap Baitul Maqdis adalah kawasan yang lebih luas dari Yerusalem. Hal ini didasarkan pada kisah musyawarah kaum Muslim ketika Rasulullah ﷺ meninggal dunia.
Saat itu, sebagaimana dikisahkan dalam suatu riwayat, bahwa kaum muslim memiliki beberapa pendapat terkait di mana Rasulullah ﷺ akan dimakamkan. Sebagian menginginkan agar jasad Rasulullah ﷺ dimakamkan di Makkah, namun sebagian lagi di Madinah.
Ada juga kelompok ketiga yang menginginkan agar jasad Rasulullah ﷺ dimakamkan di Baitul Maqdis. Alasannya sederhana saja di Baitul Maqdis pula jasad para Nabi dan Rasul lainnya dimakamkan.
Keinginan ini, meski agak mengada-ada karena Palestina ketika itu masih berada dalam penguasaan Romawi, sedikit banyak telah memberi informasi kepada kita bahwa Baitul Maqdis bisa diartikan kawasan yang lebih dari sekadar Yerusalem.
Pasalnya, makam para Nabi sendiri tidak terkonsentrasi di Yerusalem. Banyak para Nabi yang dimakamkan di luar Yerusalem. Bahkan, makam Nabi Ibrahim, Ishaq, Ya’qub berada di Kota Hebron, sekitar 30 km dari Yerusalem.
Di sisi lain, dalam beberapa riwayat, Rasulullah ﷺ justru menyejajarkan Baitul Maqdis dengan Masjidil Haram.
Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, misalnya, Rasulullah ﷺ menyebut telaga Nabi Muhammad pada hari kiamat memiliki luas sama dengan jarak antara Ka’bah dan Baitul-Maqdis.
Dari hadits ini kita menjadi paham bahwa Baitul Maqdis yang disebut Rasulullah ﷺ ini adalah Masjid Al-Aqsha. Rasanya tak mungkin bila Ka’bah dipadankan dengan Yerusalem yang luas, apalagi dengan Palestina.
Dalam kisah Nabi Yahya AS, Rasulullah ﷺ juga bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Harits al-Asy’ari, bahwa pada suatu hari Yahya AS mengumpulkan Bani Israil di Baitul Maqdis guna menyampaikan lima nasehat kepada mereka. Bani Israil ketika itu mendatangi Baitul Maqdis hingga penuh sampai ke teras.
Dari kisah ini jelas bahwa yang dimaksud Baitul Maqdis adalah Masjid al-Aqsha, bukan Kota Yerusalem, sebab tak mungkin Bani Israil ketika itu bisa memenuhi Yerusalem, apalagi sampai meluber hingga keluar kota itu.
Jadi, menyebut Baitul Maqdis, maknanya bisa berubah-ubah, tergantung konteks pembicaraannya. Ia bisa bermakna Masjid al-Aqsha, atau Kota Yerusalem, atau wilayah Palestina. Karena itulah Baitul Maqdis tak pernah tertulis dalam berkas-berkas resmi. Ia hanya ada dalam obrolan atau sebutan yang tak resmi.
Namun, entah ia dimaknai Masjid al-Aqsha, Kota Yerusalem, atau wilayah Palestina, yang pasti, di Baitul Maqdis atau Baitul Muqaddas itulah Nabi Sulaiman AS pernah mendirikan tempat peribadahan dan Rasulullah ﷺ mulai meninggalkan bumi, naik ke sidratul muntaha, dalam perjalanan Isra’ Mi’raj.
Di dalam al-Qur’an, Allah Ta’ala menyebut al Aqsha dan daerah di sekitarnya sebagai kawasan yang diberkahi. Allah Ta’ala berfitman:
سُبْحٰنَ الَّذِىٓ أَسْرٰى بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَا الَّذِى بٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (Al-Isra’ [17]: 1)
Dari ayat ini terkandung makna bawa Baitul Maqdis adalah wilayah yang Allah Ta’ala berkahi. Bahkan, keberkahan tersebut juga meliputi seluruh kawasan Syam, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَنَجَّيْنٰهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِى بٰرَكْنَا فِيهَا لِلْعٰلَمِينَ
“Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Luth ke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam.” (Al-Anbiya [21]: 71).
Negeri yang dimaksud oleh ayat tersebut, menurut Ibnu Katsir mengutip sejumlah riwayat, adalah Syam. Palestina sendiri berada di dalam wilayah Syam bersama Libanon, Suriah, dan Jordania. Wallahu a’lam.***
Artikel ini sebelumnya sudah ditayangkan Hiadayutallah.com ditulis oleh Mahladi Murni, wartawan dan pengurus MUI Pusat.
Editor: denkur