Ada rasa kaget, berbincang dengan kawan lama saat di sekolah menengah dulu. Seusai acara temu kangen dengan kawan kawan di SMA kami berdua satu mobil terjebak macet di sebuah jalan provinsi yang menghubungkan satu titik daerah dengan daerah yang melegenda soal produksi teh.
Kawan saya yang kini menjadi pengajar Ilmu Hukum (Tata Negara) di beberapa perguruan tinggi itu menyatakan perundang-undangan yang kini ada acak kadut.
Namun di lain sisi saya lega. Sebab kawan ini masih memiliki optimistis keacakadutan itu masih bisa diperbaiki sehingga bangsa dan negara ini masih jauh dari kata hancur.
Dari sekian banyak obrolan yang bersifat pernyataan dan opini dirinya, saya menangkap kesan yang membuat saya kaget yaitu republik ini mengarah pada sekuler.
Ini karena republik ini bukanlah negara agama. Karena itu kekuasaan agama dibedakan dari kekuasaan negara.
Kemudian rasa bingung muncul sebab selama ini status negara ini apa? Tampaknya enggan membicarakannya.
Keengganan untuk membicarakan status negara yang tidak jelas itu tentu ada sebabnya. Takut menimbulkan kerawanan, politik, sosial ekonomi atau aspek lainya yang menjadi elemen kehidupan berbangsa bernegara?
Namun pada kondisi faktual tanda tanda penggiringan ke arah sekulerisme muncul di berbagai platform media sosial Itu adanya gerakan yang seolah olah menciptakondisi islamphobia.
Mungkinkah Indonesia menjadi negara agama? Tidak, sebab di republik ini tumbuh berbagai agama sudah sejak ratusan tahun. Tapi mengapa kalau benar, ada gerakan yang menciptakan kondisi islamphobia.
Negara sekuler? Tidak juga, sebab masyarakat kita sudah sangat faham Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama.
Suka ataupun tidak kalau saja negara ini mengarah pada negara sekuler bagi yang memikirkannya sangat membingungkan untuk difahami.
Alasanya secara tersirat maupun tersurat negara kita mengakui legitimasi peranan agama dalam kehidupan masyarakat, dan bahkan ada di jalur pemerintahan.
Daripada bingung memahami, kita coba mengkilas baca landasan formal kehidupan bernegara yang memang tidak menetapkan salah satu agama sebagai salah satu unsur ramuan dalam kegiatan pemerintahan.
Bahkan kini peranan pemerintah itu ada lebih kongkret dilaksanakan. Kata lain, secara eksplisit Pancasila tidak menyebutkan landasan keagamaan dalam kehidupan bernegara, tetapi secara implisit ia mendukung pemerintahan yang menunjang kehidupan beragama.
Sudah tentu awampun akan mampu memahami status negara itu dari sudut yang ‘samar tetapi jelas. Ini sudah teratur dan diatur oleh sudut sudut mekanisme pembagian kekuasaan. Negara harus diurus oleh negara, yang agama diurus oleh lembaga keagamaan.
Nah jadi saat itu disimpulkan pada kewenangan antara mana yang dibidangi negara dan mana yang dibidangi lembaga keagamaan sendiri berarti itu negara sekuler.
Memahami soal ini saya memastikan banyak yang naik pitam. Sebab, Bagaimana mungkin Indonesia bisa menjadi negara sekuler.
Apa mungkin? Kata kawan saya itu, masalahnya sederhana saja jika kehidupan konstitusional rapuh maka suka ataupun tidak itu akan terjadi. Maka ideologi negara dan Undang-Undang Dasar, harus dikuatkan kembali dengan penjelasan yang harus difahami secara merata di seluruh lapisan masyarakat.
Jangan ada ketidaksamaan pendapat orang tentang batas-batas kegiatan pemerintah di bidang keagamaan.
Wal hasil kini diperlukan upaya untuk terus menerus mengamati perkembangan keadaan, sambil mencoba mendorong diskusi yang memperjelas permasalahan dan pengertian tentang negara sekuler itu.
Ini dipastikan akan memperluas dan bertambahnya kemampuan masyarakat untuk mempermasalahkannya tanpa mengakibatkan keributan.
Lalu lintaspun seakan bertambah macet. Kebingungan dan kemacetan lalu lintaspun sirna seketika, saat audio Diana Sastra melantunkan lagu Remang remang dalam irama Tarling khas Cerbonan.
Remang remang sepanjang jalan Pantura
Gadis manis pada midang pinggir dalan
Jare seneng wis bisa bantu wong tua
Kadang nangis urip mengkenen sampai kapan
Jadi kalau begitu negara sekuler remang remang!