OLEH: Sabpri Piliang
WARTAWAN SENIOR
Kausa kata “loser”, pernah menjadi bahasa gaul remaja tahun 50-an (1955). Kata “loser”, pun tampil secara masif, pada kultur POP dalam bentuk komik, dan banyak lagi.
Tokoh fiktif pengecut seperti Willy Loman, dan pemeran komik Charlie Brown tak ketinggalan populer, di zaman itu.”Loser” jadi tunggangan popularitas.
Tak terkecuali pakar sosiologi dan jurnalis, dari David Riesman hingga William Whyte, menulis buku-buku laris tentang ‘pecundang’ alias ‘loser’. Semua tampil impresif.
Pun, menjadi ‘followers’, para pemusik. Ikutan latah menyanyikan lagu-lagu tentang ‘pecundang’ (‘loser’). Hebatnya, lagu-lagu yang dibawakan oleh; pemusik dari Liverpool (Inggris) The Beatles dengan judul “I’m a Loser”, penyanyi kesayangan para mafioso AS Frank Sinatra (“Here’s to The Loser”), lalu Beck Hansen dengan lirik, “I’m a loser baby, so why you don’t kill me” pada lagu berjudul “Loser”.
Setahun sudah (7 Oktober 2023), peristiwa “Banjir Al-Aqsa”. Pejuang Hamas untuk pertama kalinya masuk menerobos wilayah Israel (lewat Khan Younis). Konser musik “Supernova”, porak poranda. Sekitar 1.200 lebih (militer dan rakyat Israel) terbunuh. Lebih dari 200 orang disandera, di bawa masuk ke Gaza oleh Hamas.
Reaksi Israel tak tanggung-tanggung. Hukuman kolektif diperlakukan untuk dua juta lebih penduduk Gaza. Gaza diratakan dengan tanah oleh Israel Deffence Force (IDF) lewat tentara udara Israel Air Force (IAF).
“Hukuman” tanpa ampun, “random sampling”, hingga kini telah menewaskan hampir 42 ribu orang, dengan hampir 100 ribu orang terluka, serta hilang tertimbun reruntuhan.
Dunia ‘lumpuh’, pembiaran atau entah apalagi namanya adalah tindakan ‘pengecut’. Orang-orang waras telah kehilangan akal. Orang-orang terhormat yang memakai stelan jas, layaknya seperti “loser”. Kemenangan yang di-klaim, sejatinya adalah ‘pecundang’.
Kenapa? “Kura-kura dalam perahu”. Hanya bisa menyalahkan, dan menutup mata, telinga, serta hati. Wibawa runtuh. Bencana kemanusiaan, seperti permainan kata dan ‘euphemisme’.
Lembaga yang dibentuk atas konvensi, dan kesepakatan bersama. Untuk ketertiban dunia (baca PBB & Mahkamah Internasional) tidak berlaku bagi Israel. Resolusi apa pun, “tabrak”. Keputusan “International Court Justice” (ICJ), peduli setan. “Tabrak”!
“Ketiadaan”, atau “ditiadakannya” PBB dan ICJ. Oleh negara-negara yang seharusnya bisa mengakhiri konflik klasik ini, menjadikan masyarakat Internasional yang cinta humanitarian bertanya! Siapa “Loser”, siapa “The Winner”.
Para “Loser” telah memantik perang. Dari “el classico” Hamas (Palestina) versus Israel, menjadi perang antara Israel vs Lebanon. Lalu, antara Israel dengan Iran. Perang langsung Iran-Israel, makin sulit dicegah.
Perkembangan ini mengerikan? Betul, Iran yang sejak pembunuhan Kepala Biro Politik Hamas (Ismail Haniyeh) hanya mengancam. Kini tidak lagi. Pemboman Israel terhadap markas dan terbunuhnya Sekjen Hezbolah Hassan Nasrallah, yang notabene sang proxy. Adalah titik pamungkas, untuk menahan diri. Iran sudah hilang kesabaran.
“Loser”, atau pecundang. Dengan kehancuran Gaza, juga Lebanon Selatan. Lantas, siapa yang ingin kita sebut sebagai pecundang? Satu istilah baru yang dikeluarkan Stanford University (Inggris), “Duck Syndrome”.
Di-analogikan dengan kemampuan seekor Bebek (Itik) meluncur mulus, di permukaan kolam. Padahal kakinya, sangat susah payah mengayuh di bawah permukaan air. Begitu juga peperangan yang saat ini tengah ber-eskalasi di Timur Tengah.
Sepertinya Israel unggul dari sisi persenjataan. Gaza telah diluluhlantakkan. Hancur, sehancur-hancurnya. Pimpinan Hamas Ismail Haniyah (di Teheran) dan Saleh Al-Aroury (di Lebanon Selatan), telah ‘disudahi’. Kemungkinan (belum ‘declard), Mohammad Deif (di Gaza), juga telah terbunuh.
Praktis pucuk “ex-officio”, pimpinan Hamas yang sedang menjabat di lapangan. Nyaris habis. Begitu juga dengan Hezbollah: Sekjen Hezbollah, Komandan Senior Fouad Shoukr, Ali Kariki, Ibrahim Aqil (Komandan Operasi dan anggota Dewan militer tertinggi). Di-“sukabumikan”. Meminjam istilah tembak di tempat di Jakarta, era 80-an.
Ibrahim Aqil, adalah sosok Hezbollah yang paling dicari oleh Amerika Serikat (AS). Dicurigai terlibat pengeboman truk di depan Kedubes AS (Beirut/Lebanon. Menyebabkan 63 orang tewas.
Berselang enam bulan kemudian di tahun yang sama (1983), serangan terhadap barak Marinir AS di Beirut. Menewaskan 241 personel.
Komandan Hezbollah lain yang juga tewas, terkait dengan konflik Hamas-Israel: Ibrahim Qubaisi (Komandan Divisi Roket Hezbollah), Ahmed Wahabi (Komandan Pasukan khusus Radwan), Fouad Shoukr (diduga ikut peledakan barak Marinir AS di Beirut bersama Ibrahim Aqil), Mohammed Nasser (Komandan perbatasan), Taleb Abdallah (Komandan Senior).
Bila melihat komposisi terbunuhnya para “decision maker” tempur Hamas dan Hezbollah. Sementara Israel hanya men-‘declared’, tak sampai 800 personel (sejak 7 Oktober 2023). Itu pun hanya sebatas komandan berpangkat Mayor-Letkol-Kolonel. Siapakah “The Winner”?
Maka, Israel yang didukung “close friend” (sepenuhnya/100 persen) oleh Amerika Serikat (AS) lah seolah “The Winner”nya. Sementara, Hamas dan Hezbollah selaku “Loser” (kalah).
Serangan langsung rudal Iran (kemarin) ke Tel Aviv. Bisa dimaknai terdesaknya Hamas dan Hezbollah. Diartikan sebagai mulai menurunnya logistik perang Hamas. Karena blokade Israel terhadap Koridor Philadelphia (perbatasan Mesir-Gaza), dan Jembatan Allenby (perbatasan Yordania), sangat ketat.
Meskipun begitu Hasrat Hamas-Hezbollah-Iran untuk menjadi pemenang (bukan pecundang), kian menemukan spirit dan momentum. Dukungan masyarakat dunia bagi kemerdekaan Palestina, kian menghebat. Itulah penawarnya.
Sementara Israel, juga mendapatkan momentum, dengan terbunuhnya pimpinan teras musuhnya (Hamas-Hezbollah-Iran). Apakah itu kemenangan sesungguhnya? Bukan kemenangan “Duck Syndrome”? Menang, tapi berwujud “kalah”. Menang dalam bentuk apa?
Terlihat menang di permukaan (Itik berenang). Namun pijakan kaki di bawah air, nampak terseok-seok. Letih dan ‘compang camping’.
Tanggal 7 Oktober lusa, tepat setahun konflik berdarah Israel dan Gaza. Perang belum berhenti. Dunia berteriak! Dunia ditinggalkan demi kemenangan semu. Semua ‘jijik’ melihat darah mengalir laksana aliran Sungai (river).
Namun, siapakah sang “Loser” (pecundang), siapa “The Winner” (pemenang)? tentu sulit melihat dari satu perspektif saja. Di perspektif lain, bisa saja “kejijikkan” masyarakat dunia terhadap “pembiaran” perang “gila” , adalah “Sang Pemenangnya”.
“Menang jadi abu, kalah jadi arang”. Berhentilah.