PERCEPATAN dan pemerataan pembangunan sepertinya belum dilakukan secara merata. Kondisi itu terbukti dari kondisi infrastruktur di Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Sejak puluhan tahun masyarakat di empat desa yang ada di wilayah itu harus mengalah dengan kondisi alam. Jalan utama yang menghubungkan keempat wilayah itu, seringkali ‘hilang’ tertutup aliran sungai yang semakin deras saat hujan turun.
Jalan penghubung Desa Neglasari, Mulyasari, Bunisari, dan Karangsari itu memang timbul tenggelam sesuai dengan kondisi cuaca.
Kondisi itu jelas berdampak pada kondisi sosial masyarakat setempat, seperti pendidikan, kesehatan dan perekonomian masyarakat.
“Kondisi seperti ini sudah dirasakan sejak 1982. Jalan penghubung antar desa di wilayah kami selalu tertutup aliran Sungai Jamilaer. Tentu setiap hujan turun, akses ke sekolah, fasilitas kesehatan, atau perekonomian otomatis terputus, karena tidak mungkin menyebrang,” kata Kepala Desa Neglasari, Kecamatan Agrabinta, Nasihin, kepada wartawan, Kamis (28/3/2019).
Tidak ada sama sekali jembatan penghubung yang bisa digunakan, saat aliran sungai meluap menutup jalan, masyarakat sekitar hanya bisa melintas ketika air surut meskipun jalan tidak sepenuhnya kering.
Kondisi itu, diakui Nasihin sangat memprihatinkan, terutama bagi para pelajar yang terpaksa tidak berangkat ke sekolah. Padahal, ada beberapa sekolah di wilayah tersebut, yakni SD Cikahuripan, SD Cikole, Mts Leles, SMK Leles, SMP 3 Agrabinta, dan satu madrasah aliyah.
”Para siswa memilih untuk tidak pergi ke sekolah, daripada harus resiko terseret arus air sungai. Arus besar sekali, bahkan pernah ada yang nekat menyeberang tapi motornya malah hanyut terbawa arus,” ucap Nasihin.
Tak hanya bagi pelajar, sebagai kepala desa, Nasihin juga mengkhawatirkan jika ada masyarakat yang sakit atau hendak melahirkan. Pasalnya, benar-benar tidak ada jalur aman yang bisa dilalui pada keadaan darurat sekalipun.
Nasihin tidak pernah mengabaikan kondisi yang ada, ia bahkan mengaku sudah sering mengajukan pembangunan jembatan di lokasi tersebut. Setidaknya, pemerintah bisa membangun sebuah jembatan gantung dengan material yang kokoh sehingga tidak mudah rusak.
Keinginan tersebut bukan tanpa sebab, selain karena selama puluhan tahun wilayah itu tidak tersentuh pembangunan, selama ini masyarakat hanya bertahan dengan jembatan bambu sederhana. Jembatan itu pun, hanya bisa digunakan sebentar karena pasti hancur kembali oleh arus sungai.
”Setiap tahun membangun jembatan bambu, dan setiap tahun juga jembatannya rusak. Swadaya saja, setidaknya bisa menyeberang dan aktivitas tidak selalu lumpuh saat jalan tertutup arus sungai,” kata Nasihin.
Sebenarnya tidak hanya satu sungai yang membutuhkan jembatan. Menurut dia, ada lima titik sungai lain yang juga memerlukan jembatan agar dapat dilalui. Di antaranya, Sungai Kaliciakak, Gonggang, Bojonghuni, Cigenuk, dan Cikahuripan.
“Kami selalu memohon bantuan kepada pihak terkait, supaya dibantu. Tapi, mungkin, karena Neglasari ini terlalu besar, terlalu jauh, dan terbatasnya anggaran makanya belum juga ada bantuan yang masuk,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan Nasihin, kebutuhan jembatan penghubung yang dibutuhkan antara lain sepanjang 70 meter. Diharapkan, jembatan itu bisa diandalkan untuk penggunaan harian masyarakat empat desa terhubung.
Lebih lanjut dikatakan, sebenarnya ada dana desa yang bisa dioptimalkan untuk kebutuhan jembatan. Akan tetapi, dari hasil musyawarah setiap tahunnya, diputuskan agar pembangunan jalan darat lebih didahulukan menggunakan dana tersebut.
”Memang jalan darat di desa kami pun sepanjang 59 kilometer masih berupa tanah. Akan becek parah dan sulit dilalui saat musim hujan, makanya masyarakat juga memilih untuk membangun jalan dulu,” jelasnya.
Mewakili masyarakat di desa-desa tersebut, Nasihin sangat mengharapkan agar pemerintah kabupaten bersedia menyentuh wilayah itu.
“Masyarakat sudah terlalu lama menunggu adanya pembangunan. Mereka juga tidak berhenti mengharapkan, lingkungan mereka dapat lebih nyaman untuk ditinggali tanpa terkendala apapun,” tandasnya.***
Penulis: Purwanda
Editor: Ayi Kusmawan