Masih ada yang menganggap menulis itu menjemukan. Faktanya, menulis itu bagian dari membahagiakan diri, berbagi curahan hati, hingga sebagai terapi jiwa.
DARA – Demikian disampaikan Iu Rusliana, M.Si, CHRA, dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam webinar Pesantren Ramadhan 1443 H/ 2022 M yang diselenggarakan Komisi Pendidikan dan Kaderisasi Majelis Ulama Indonesia, Jumat kemarin.
Webinar itu bertajuk: “Remaja Meraih Impian, Membangun Remaja Muslim Beriman dan Bertaqwa Pasca Pandemi”.
Iu Rusliana mengatakan, banyaknya euforia semangat menulis tidak diiringi dengan mendisiplinkan diri untuk mulainya, sehingga karya tersebut tidak mampu dihasilkan jika ide hanya sebatas euforia.
Menulis adalah sarana komunikasi diri. Dalam istilah psikologi yaitu autobiografi disebutkan barang siapa tak bisa menuliskan dirinya maka tak mengenal dirinya.
Dengan teknologi yang sudah semakin maju dan berkembang, menulis bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun. Bahkan, berada di transportasi umum, menunggu antrian, atau ketika tengah bersantai di meja makan.
Apabila budaya menulis ini telah terbentuk, maka akan melahirkan literasi yang maju. Literasi merupakan bagian dari wahyu sejak awal Islam ada.
Hal ini dimanifestasikan dalam wahyu pertama yaitu surah al-Alaq yang memerintahkan untuk membaca. Oleh sebab itu membaca dan menulis adalah inti tugas penting peradaban manusia yang tercatat dalam spirit agama Islam.
“Ketika menulis, tidak jarang kita menghadapi cognitive blocking atau ketidakmampuan memulai dan menyelesaikan tulisan yang sedang dikerjakan. Solusinya yang bisa digunakan yaitu dengan berhenti sejenak atau mengikuti forum diskusi dan membaca buku untuk menggali kembali inspirasi,” katanya, seperti dikutip dari laman resmi MUI, Sabtu (16/4/2022).
Kondisi cognitive blocking menurut Iu Rusliana tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, hal tersebut memicu terbengkalainya tulisan yang sedang kerjakan.
Lebih lanjut, Dosen UIN Sunan Gunung Djati tersebut juga memberikan tujuh prinsip menulis dengan cinta:
Pertama, menulis dengan ungkapan hati atau yang dikenal dengan istilah curhat (curahan hati)
Kedua, buat tulisan yang ringan untuk dibaca.
Ketika, mulai menulis dari kata kunci yang ada di dalam pikiran.
Keempat, membaca banyak referensi, fokus untuk menggarap tulisan, dan kerjakan dengan sistematis.
Kelima, percaya diri dengan apa yang ditulis. Dia mengistilahkan dengan merayakan kebodohan diri bahwasanya tidak ada tulisan yang sempurna. Hadirnya kritik merupakan dialektika untuk mengembangkan agar tulisan semakin baik.
Keenam, tidak ada yang sempurna, bukan berarti merupakan karya yang selesai.
Ketujuh, tinggalkan jejak kebaikan. Tulisan yang bermanfaat merupakan ladang kebaikan yang akan terus mengalir pahalanya.
Editor: denkur | Sumber: MUI