“Tim ini dibentuk dari guru-guru yang punya care (kepedulian) dan kapabilitas mencegah itu, termasuk melibatkan siswa yang berpengaruh di antara teman-temannya,” ujar Agus.
DARA| Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Cikampek berkomitmen menghapus aksi perundungan. Di mana perundungan masuk dalam tiga dosa besar pendidikan yang harus dientaskan, selain kekerasan seksual dan intoleransi.
Diketahui, SMAN 1 Cikampek sendiri telah ditunjuk menjadi salah satu sekolah penggerak pada 2021 lalu. Sejak saat itu, sekolah yang berdiri di lingkungan Cadisdik IV Jabar ini pun mulai menerapkan sejumlah strategi untuk menyikapi tiga dosa besar pendidikan, baik itu ketika siswa di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.
Kepala SMAN 1 Cikampek, Agus Setiawan mengatakan, strategi pertama yaitu membentuk tim yang solid dan memiliki pandangan, visi, serta kesepahaman yang sama soal tiga dosa besar pendidikan.
“Tim ini dibentuk dari guru-guru yang punya care (kepedulian) dan kapabilitas mencegah itu, termasuk melibatkan siswa yang berpengaruh di antara teman-temannya,” ujar Agus, Rabu (3/11/2022).
Setelah tim terbentuk, langkah selanjutnya adalah menggelar sosialisasi yang ditujukan kepada orang tua, stakeholders, dan peserta didik lalu dilanjutkan dengan pernyataan komitmen bersama, deklarasi, hingga kampanye.
“Usai deklarasi dilakukan penandatanganan pakta integritas bersama. Semua upaya itu direkam dalam bentuk video kemudian diunggah ke berbagai platform baik media sosial maupun YouTube,” katanya.
Agus pun menyebut, hadirnya ruang konsultasi sangat penting. Menurutnya, ruang konsultasi harus membuat peserta didik merasa aman dan nyaman, sehingga sekecil apapun permasalahan bakal terungkap.
“Dalam UU perlindungan anak pun disebutkan bahwa siapa pun yang melihat praktik kekerasan terhadap anak wajib memberikan perlindungan dan rasa aman,” ungkapnya.
Menurut dia, tiga dosa besar pendidikan ini bisa saja terjadi antara siswa dengan siswa, siswa terhadap guru, guru terhadap siswa atau bahlan guru dengan guru. oleh karena itu ini harus dikikis lantaran sekecil apapun perundungan itu harus dicegah.
Strategi terakhir, yakni konsentrasi menjaga budaya 3A atau anti-perundungan, anti-kekerasan seksual, dan anti-intolenransi, agar perundungan termasuk kekerasan seksual dan intoleransi dalam dunia pendidikan benar-benar dapat ditekan, bahkan dihapuskan.
Guna memperkuat program tersebut, pihaknya pun kini telah memiliki total 45 peserta didik yang didapuk menjadi agen anti-perundungan, agen anti-kekerasan seksual dan agen anti-intoleransi. Agen-agen tersebut merupakan perwakilan dari setiap kelas yang direkrut sesuai dengan kriteria.
Adapun kriterian agen perubahan ini, yaitu peserta didik yang memiliki jiwa kepemimpinan dan berpengaruh di lingkungan sekolah. Artinya, bisa saja siswa yang paling nakal dan gemar bolos.
“Biasanya orang yang paling bangor (nakal) dan suka suka bolos itu punya pengaruh juga di mata teman temannya. kita rekrut tapi kita bekali dulu dengan pelatihan-pelatihan sehingga yang tadinya berperilaku tanda kutip negatif menjadi postif,” paparnya.
Setelah sejumlah strategi tersebut digulirkan, Agus mengaku bersyukur karena tak ada lagi perundungan di SMAN 1 Cikampek. Bahkan, dia meyakinkan, di luar sekolah sekalipun tak ada lagi kasus perundungan yang melibatkan siswanya.
“Alhamdulillah, dari strategi yang telah kami lakukan, tak ada lagi kasus perundungan,” kata Agus.
Sementara itu, Kepala Cabang Dinas (KCD) Wilayah IV Jabar, Ai Nurhasan mengatakan, upaya menekan dan menghapuskan tiga dosa besar pendidikan harus dilakukan secara bertahap.
Menurutnya, aspek paling dasar dalam mengantisipasi persoalan tersebut adalah kurikulum. Dia menilai, kurikulum Merdeka Belajar yang sudah mulai diterapkan sangat tepat dalam upaya menghapuskan tiga dosa besar pendidikan.
“Di dalam kurikulum Merdeka Belajar pasti wajib praktik ada karena basis project tadi. Antibullying, antikekerasan seksual, termasuk intoleransi. Ini jadi bagian terintegrasi yang harus ada,” katanya.
Pihaknya juga sudah mewajibkan setiap sekolah yang belum menerapkan kurikulum Merdeka Belajar untuk segera melakukan penyesuaian. Menurutnya, pembenahan sistem melalu kurikulum Merdeka Belajar menjadi langkah awal yang sangat penting.
“Artinya, dari aspek substansinya sudah clear karena sekolah berjalan dalam kesehariannya basisnya kurikulum Merdeka. Kalau kurikulumnya belum ya gak mungkin implementasinya bisa lebih sistematis,” jelasnya seraya mengatakan bahwa sekolah harus melakukan stimulasi percepatan penerapan kurikulum Merdeka Belajar.
Dia meyakinkan, melalui kurikulum Merdeka Belajar, pendekatan belajar yang selama ini berbasis tatap muka pun bisa berubah menjadi berbasis project, sehingga siswa lebih kreatif dan implementatif.
“Langkah terakhir yang dilakukan adalah membuat semacam lomba. Rencananya, pada Desember mendatang akan diadakan lomba inovasi dan kreativitas sekolah dalam penerapan kurikulum Merdeka Belajar. Kita akan gebyarkan dalam rangka mendorong dan menginspirasi sekolah lain agar mengikuti kurikulum terbaru,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi bullying atau perundungan, dan juga tindakan kekerasan yang dilakukan antar pelajar, dengan membentuk Satgas Anti Kekerasan Pelajar. Di dalam Satgas tersebut terdiri dari berbagai unsur, dari mulai aktivis pendidikan hingga aparat Kepolisian dan TNI.
“Kita membentuk satgas anti kekerasan pelajar, ini sudah terkoneksi dimana di dalamnya ada tim inti dari para aktivis pendidikan yang bersedia, kemudian anggotanya adalah para guru BK, dan Wakasek Kesiswaan dan terkoordinasi dengan aparat Kepolisian dan TNI. Sehingga satgas ini cukup efektif melakukannya dengan pola lintas instansi,” katanya.
Pasalnya lanjut dia, kekerasan di lingkungan pelajar ini mencakup dua jenis. Yang pertama kekerasan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok kecil berupa perundungan atau bullying. Yang kedua adalah kekerasan yang sifatnya luas, yaitu tawuran atau pengkeroyokan yang dilakukan antar pelajar.
Hal ini tidak terlepas dari keterbukaan informasi yang dengan mudah para pelajar mengakses media sosial yang di dalamnya juga banyak perilaku-perilaku kekerasan yang seharusnya tidak ditonton.
“Dimana anak didik kita dengan mudah melihat, menyaksikan perilaku yang tidak baik berbagai jenis kekerasan, atau terinspirasi oleh games. Hal itu juga bisa dijadikan inspirasi oleh mereka untuk dijadikan tindakan kekerasan,” jelasnya.
Sehingga, dengan adanya satgas anti kekerasan pelajar ini, bisa mendeteksi dini perilaku pelajar yang menjurus kepada kekerasan. Bahkan, satgas ini juga diapresiasi dan membantu aparat keamanan untuk mengantisipasi berbagai tindakan kekerasan di antaranya adalah tawuran antar pelajar.
“Kita juga punya jejaring medsos para siswa sehingga kita betul-betul mengantisipasi manakala ada gelagat atau upaya untuk tawuran dan perilaku kekerasan lainnya. Keberadaan satgas ini cukup membantu aparat memberikan informasi dini tentang perilaku siswa sehingga bisa segera diantisipasi. Hasinya luar biasa, dari tahun ke tahun kasus tawuran semakin menurun, kemudian laporan dari perilaku bullying di sekolah juga sudah jauh menurun,” tegasnya.
Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Jawa Barat Dedi Supandi mengatakan, soal perundungan adalah permasalahan yang tidak bisa dianggap remeh. Dia menegaskan, pihaknya akan terus mendorong penerapan ramah anak di seluruh sekolah.
Terlebih, Berdasarkan data, persentase penerapan sekolah ramah anak di SMA sudah mencapai 68%, sedangkan SMK masih di angka 28,23%.
“Pengawas Sekolah juga akan terlibat dalam keberlangsungan sekolah ramah anak ini,” ujar Dedi Supandi.
Dedi menambahakan, sekolah ramah anak bukan hanya berkaitan dengan bersih, indah, dan aman saja, namun juga harus inklusif. Dedi juga meminta kepada seluruh kepala sekolah, untuk bisa meningkatkan pengawasan kepada muridnya.
Karena menurut Dedi, salah satu waktu yang dihabiskan cukup lama oleh siswa, adalah di sekolah. Siswa menghabiskan waktu sekitar 8 jam di sekolah.
“Oleh karena itu, pengawasannya juga harus maksimal,” pungkasnya.
Editor: Maji