“Bukan hanya memenuhi hasrat, tetapi banyak sekali konsekuensi-konsekuensi, yang artinya butuh juga perencanaan agar kekuatan yang dibangun untuk membina mahligai rumah tangga ini bukan hanya demi kepentingan sesaat. Tetapi itu tadi, mahligai rumah tangga ini mudah-mudahan sakinah, mawaddah, dan warohmah,” jelas Kurnia Agustina Naser.
DARA | BANDUNG – Kasus pernikahan dini belakangan ini begitu memprihatinkan, termasuk di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dari data di Pengadilan Agama Soreang, sejak Januari hingga Juni 2020, sudah ada sebanyak 462 surat permohonan dispensasi yang diajukan.
Secara umum, pernikahan dini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang sering dikaitkan dengan kondisi ini adalah ekonomi, tingkat pendidikan yang kurang, faktor adat, pengaruh media massa, dan kondisi-kondisi tertentu seperti kehamilan di luar nikah.
Menyoroti hal tersebut, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bandung, Kurnia Agustina Naser mengaku prihatin, apalagi alasan banyaknya pernikahan dini tersebut hanya terdorong oleh nafsu sesaat.
“Kita juga harus melihat jeli dulu alasan kenapa bisa terjadi pernikahan dini tersebut,” ujar Kurnia melalui sambungan telepon, Rabu (2/9/2020).
Perempuan yang akrab disapa Teh Nia ini berharap, pihak orangtua atau teman-teman dari para pelaku pernikahan dini ini bisa berfikir panjang bahwa menjadi satu keluarga dalam ikatan sah memiliki banyak konsekuensi yang harus ditanggung bersama.
“Bukan hanya memenuhi hasrat, tetapi banyak sekali konsekuensi-konsekuensi, yang artinya butuh juga perencanaan agar kekuatan yang dibangun untuk membina mahligai rumah tangga ini bukan hanya demi kepentingan sesaat. Tetapi itu tadi, mahligai rumah tangga ini mudah-mudahan sakinah mawaddah warohmah,” jelasnya.
Terkait upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah, ia menyebut ketika angka pernikahan dini masih banyak berarti sosialisasi sampai ke pelosok-pelosok itu dirasakan masih kurang. Namun demikian, untuk menyosialisasikan itu, tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah semata, tetapi harus juga oleh lembaga-lembaga pernikahan seperti Depag dan Kemenag.
Selain itu, lanjut Nia, para politisi harus juga menyelenggarakannya. Lalu LSM juga harus peduli akan nasib anak bangsa ke depannya, kemudian komunitas-komunitas perlindungan perempuan dan anak juga harus gencar melakukan sosialisasi.
“Pemahaman dari para orangtuanya sendiri tentang pentingnya mempersiapkan generasi mendatang dengan kualitas sebaik-baiknya pun harus jadi prioritas utama. Jadi kalau sekarang dirasakan angka pernikahan dini ini tinggi, tentu saja banyak sekali pemicunya ya,” pungkasnya.***
Editor: Muhammad Zein