Sempat heboh keluhan masyarakat soal membengkaknya tagihan listrik. Namun, pihak PT PLN (persero) menegaskan kenaikan tarif dasar listrik itu karena lonjakan pemakaian pelanggan.
DARA | JAKARTA – Direktur Niaga dan Manajemen Pelayanan Pelanggan PLN, Bob Sahril mengatakan tagihan tarif listrik naik beberapa bulan terakhir karena adanya pengalihan (carry over) biaya lebih yang seharusnya dibayar pengguna atau konsumen.
Adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), petugas PLN tidak bisa melakukan pencatatan meter ke rumah pelanggan, sehingga April dan Mei, PLN menggunakan mekanisme pencatatan rata-rata tiga bulan sebelumnya untuk menghitung tagihan.
“Kita melakukan rata-rata pembacaan tiga bulan ke belakang untuk dapat angka stand meter pada Maret untuk tagihan April. Jadi kita minta rata-ratanya Desember, Januari dan Februari,” kata Bob melalui telekonferensi, seperti dikutip dara.co.id dari detikcom, Jumat (12/6/2020).
Misalnya, rata-rata penggunaan listrik di bulan Desember-Januari-Februari 100 kWh. Namun, karena ada WFH di bulan Maret, konsumsi listrik naik menjadi 120 kWh. Tapi PLN menghitungnya masih berdasarkan rata-rata konsumsi yakni 100 kWh, kelebihan 20 kWh-nya belum dihitung.
Ditambah konsumsi listrik di bulan April yang tanpa disadari membengkak karena satu bulan full WFH, katakanlah menjadi 140 kWh. Namun PLN juga masih menghitungnya berdasarkan rata-rata yakni 100 kWh, berarti ada lebih 60 kWh yang belum dihitung.
Masih dikutip dari detikcom, di bulan Mei PLN mulai mencatat meteran ke rumah pelanggan, misalnya konsumsi listrik pelanggan di bulan Mei 140 kWh ditambah carry over yang belum terhitung 60 kWh. Maka pelanggan harus membayar tagihan dengan pemakaian 200 kWh sehingga lonjakan tagihan 200% tidak terhindarkan.
“Sehingga kalau kita lihat mulai rekening April ke Juni dari sebelumnya bayar 100 ini jadi 200. Dikalikan tarifnya kenaikannya 200%. Inilah yang terjadi pada masyarakat,” ujarnya.***
Editor: denkur