Bagi masyarakat, kawasan Dago cukup familiar. Pasalnya, di lokasi itu terdapat wisata belanja maupun kuliner yang kerap didatangi warga, baik lokal maupun luar Kota Bandung.
DARA | BANDUNG – Di kawasan Dago, terutama Jalan Ir H Juanda, pada saat sebelum pandemi Covid-19 selalu ramai disambangi masyarakat, terutama Minggu pagi. Hal itu lantaran di tempat tersebut diselenggarakan Hari Bebas Kendaraan (Car Free Day).
Tetapi tahukah anda asal mula nama Dago? Berdasarkan penelusuran, nama itu telah ada sejak zaman Belanda. Konon, saat masa kolonial, penduduk di kawasan Bandung utara memiliki kebiasaan untuk saling menunggu sebelum pergi ke kota.
Jalan yang digunakan masih berupa jalur setapak dan menjadi satu-satunya akses bagi penduduk ke pasar. Namun, jalan menuju pasar ini masih dikuasai oleh para perampok serta rawan binatang buas, terutama di daerah hutan sekitar Terminal Dago.
Dari beberapa sumber tulisan, di Kota Bandung zaman baheula memang banyak ditemui badak hingga harimau. Kondisi tersebut membuat penduduk selalu pergi bersama-sama karena alasan keamanan. Maka itu, warga terbiasa silih dagoan (saling menunggu) di suatu tempat di kawasan tersebut. Dari sana, nama Dago muncul dan menjadi akrab di telinga masyarakat.
Sejak dahulu, kawasan Dago memang menjadi kawasan yang cocok dijadikan tempat peristirahatan. Saat Belanda berkuasa, kawasan itu juga dijadikan sebagai rumah peristirahatan dan kawasan elit.
Pembangunan di Dago dimulai pada 1905 oleh Andre van der Brun. Selain rumah peristirahatan, di kawasan Dago juga dibangun Dago Thee Huis atau sekarang dikenal dengan Dago Tea House.
Pada tahun 1920-1940 pemerintah Hindia Belanda semakin giat melakukan pembangunan di kawasan Dago, pemerintah Hindia Belanda membangun sarana pendidikan, seperti Techniche Hoogeschool Bandoeng (ITB) yang dibuka sejak 3 Juli 1920 dan menjadi perguruan teknik pertama di Hindia Belanda.
Sebelum bernama Ir H Juanda, jalan tersebut bernama Dagostraat. Jalan tersebut dibangun pada 1915. Nama Dagostraat berubah menjadi Jalan Ir H Juanda pada 1970. Pada tahun yang sama juga menandai kawasan Dago yang berubah dari daerah hunian menjadi wilayah komersial.***
Editor: denkur