Diantara negara-negara produsen batu bara dunia Indonesia bukan yang terbesar, namun karena konsumsi batu bara dalam negeri rendah, ketidakjelasan komitmen pengurangan produksi, dan mudahnya menerobos aturan di lapangan, Indonesia menjadi tumpuan impor beberapa negara.
DARA – Nilai tambah industri batu bara lebih banyak berkembang dan didistribusikan diluar Indonesia.
Industri tambang batu bara di Indonesia menyebabkan eksternalitas berupa berkurangnya hutan hujan tropis, menghilangnya keanekaragaman hayati, perubahan kontur tanah, polusi dan limbah serta berkurangnya mata air yang bersifat permanen, tidak bisa dikembalikan ke kondisi awal, berdampak ke publik saat ini dan masa depan.
Namun industri tambang natu bara juga turut berkontribusi dalam menciptakan lapangan pekerjaan, mengembangkan industri pendukung lokal, membuka daerah, dan berperan dalam pembangunan lokal selama masa operasinya.
Kajian yang dilakukan Perkumpulan Amerta merekomendasikan:
1. Industri tambang batu bara bersifat tak terbaharukan (non renewable) sehingga nilai tambahnya harus diinvestasikan ke ekonomi lokal yang terbaharukan. Investasi ini harus dilakukan sebelum berakhirnya ijin usaha.
Jika terlambat akan terjadi fenomena “ghost town”.
2. Kontribusi industri tambang batu bara perlu diarahkan pada pengembangan ekonomi alternatif paska tambang yang berkelanjutan. Tidak sekadar dikompensasi untuk mendapatkan “social license to operate”.
3. Penegakan aturan tentang target produksi tahunan, DMO (domestic market obligation), pajak dan retribusi, maupun RI PPM (Rencana Induk Pemberdayaan dan Pengembangan Masyarakat) yang jelas, tegas, dan
transparan.
Hasil kajian telah dikirmkan kepada Kementerian ESDM, Menko Perekonomian, Bappenas, Lemhanas, dan Presiden Republik Indonesia.
Demikian keterangan tertulis yang diterima redaksi Selasa (15/2/2022).
Editor: denkur