DARA | BANDUNG – Indeks pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan di Jawa Barat sebesar 6,13 termasuk buruk ketimbang provinsi lain se-Indonesia. Meskipun indeks pertumbuhan ekonomi sebesar 5,78 berada di urutan kelima dari 34 provinsi di Tanah Air, daerah ini masih memiliki PR untuk mengatasi tingginya angka pengangguran.
Kondisi tersebut terungkap dalam Forum Pembangunan Daerah (FPD) 2019 bertema Pembangunan Ekonomi Inklusif untuk Penurunan Kemiskinan yang Berkelanjutan di Jawa Barat, di Bandung, Selasa (30/7/19). Forum ini digelar atas kerjasama Pemprov setempat dengan SMERU Research Institute.
Dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), Jawa Barat menempati posisi pertama sebagai provinsi yang paling banyak memiliki pengangguran. Saat ini, lulusan SMK menjadi penyumbang pengangguran terbanyak di Jawa Barat juga nasional.
Terkait itu, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, akan mengembangkan sistem vokasi yang berbeda ketimbang SMK. Ia menilai sistem saat ini tidak bisa mengimbangi permintaan pasar.
“Salah satu yang mengemuka dan ingin segera Bappeda dan Disdik (Dinas Pendidikan) rapatkan, adalah soal SMK. Sumber pengangguran terbesar dari SMK. Ekonomi ke kanan, SMK masih di kiri,” katanya, saat menghadiri forum tersebut, dilansir humas.jabarprov.go.id.
Fokus senada diutarakan Kepala Bappeda Provinsi Jabar, Taufiq Budi Santoso. Pada kesempatan yang sama, Taufiq meminta para peneliti untuk mengemukakan masalah pengangguran di Jabar.
“Harapan kami, SMERU bisa terus membantu Jawa Barat, menambah lagi penelitian-penelitiannya. Mungkin tak hanya kemiskinan. Tapi juga pengangguran yang menjadi tantangan Jawa Barat ke depan, karena pengangguran Jawa Barat relatif tinggi ketimbang provinsi lain di Indonesia,” kata Taufiq.
Adapun menurut Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan, Amalia Adininggar Widyasanti, masalah pengangguran khususnya lulusan SMK menjadi bukti adanya ketidakcocokan antara kebutuhan pasar dan suplai.
“Di Jabar, ini jadi pertanyaan besar. Jabar berbasis manufaktur. Tapi lulusan SMK tidak terserap dengan baik. Artinya ada yang tidak match antara kebutuhan industri dengan suplai lulusan SMK,” ujar Amalia.
Padaham, lanjut Amalia, tenaga kerja atau labour adalah aset industri. “Karena labour itu aset industri untuk berkembang dan tumbuh lebih maju. Itu salah satu faktor produksi dalam ilmu ekonomi,” katanya.
FPD 2019 menjadi ajang evaluasi para kepala daerah di Jawa Barat untuk merumuskan kembali strategi, kebijakan, program, dan kegiatan yang berkaitan dengan ekonomi inklusif, termasuk pengentasan kemiskinan dan pengangguran.***
Editor: Ayi Kusmawan