DARA | CIANJUR – Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 sepertinya sudah sedikit terlupakan. Keberadaan monumen di Kampus Trisakti yang menjadi simbol sejarah pun terabaikan, padahal di lokasi itu pernah ada darah yang tertumpah dalam tragedi tersebut.
Kondisi itu yang menarik sineas, Nia Dinata, untuk mengingatkan sejarah yang mudah dilupakan, meskipun berada di depan mata. Ia berpikir untuk menggagas sebuah film pendek berjudul “Sejarah yang tak Pernah Diajarkan di Bangku Sekolah”.
“Dari sana saya berpikir ada sejarah yang harus disampaikan karena tidak diajarkan di bangku sekolah. Dari sana pula lahir gagasan untuk membuat sebuah film. Maka lahirlah film pendek dengan judul Sejarah yang tak Pernah Diajarkan di Bangku Sekolah,” tutur Nia Dinata, kepada wartawan, saat ditemui di Gedung Dewan Kesenian Cianjur, Jawa Barat, Kamis (28/2/2019).
Masyarakat, terutama kaum milenial Kabupaten Cianjur diajak mengingat kembali perjuangan reformasi 1998 melalui film dokumenter berdurasi 15 menit tersebut. Film karya Nia Dinata ini menceritakan detik-detik pergerakan mahasiswa Trisakti melakukan orasi di dalam kampus kemudian melakukan aksi meminta pemerintahan orde baru untuk lengser.
Tragedi pun terjadi, sebanyak empat orang mahasiswa menjadi korban tewas saat aparat mendesak mundur mahasiswa ke dalam area kampus.
Setelah pemutaran film, acara dilanjutkan dengan diskusi, pemateri Nia Dinata dan aktivis 98 Suci Mayang Sari.
Nia Dinata mengatakan, ia dengan serius mengumpulkan bahan untuk pembuatan film dari orang-orang yang terlibat dalam tragedi 98. “Kami ingin mengingatkan generasi muda dengan film dokumenter, tema kami sejarah yang tak pernah diajarkan di bangku sekolah. Kenapa saya ambil tagline itu karena saat pembuatan film ada celetukan itu dari generasi muda,” jelas Nia.
Menurut Nia, saat ini waktu yang tepat untuk mengingatkan kembali generasi muda akan pentingnya perjuangan reformasi. “Ada sejarah ini dan apa yang mau dilakukan ke depannya, itu yang terpenting. Kami akan upload film ink ke media sosial agar mudah diakses semua orang,” katanya.
Aktivis 98, Suci Mayang Sari, saat dihubungi untuk pembuatan film dokumenter dan diminta menceritakan kronologisnya, berpikir mudah tapi sulit. “Mudah mengingat kronologis namun sulit karena mengungkit kembali rasa sakit yang sampai saat ini si pelaku masih ada di luar sana. Kejadian itu memang benar, dan semengerikan itu, saat itu memang tak ada demokrasi,” ujar Suci.
Suci mengingatkan, reformasi bukan pemberian, melainkan sesuatu yang direbut dengan darah dan nyawa, dan reformasi ini harus dijaga. “Aktivis 98 sudah mengusahakan agar sejarah reformasi masuk kurikulum agar dikenal anak milenial,” katanya.
Seorang penonton film dokumenter itu, Ricky Susan (29), mengatakan, saat reformasi memang ia melihat kejadian hanya lewat televisi dan sekilas tanpa mengetahui runut kejadian. Terlebih karena ia berada di daerah dan tak terlalu mengetahui kejadian yang sebenarnya di ibu kota. “Setelah menonton film tadi saya terharu, sedih, dan miris ternyata tragedi 98 sangat menyeramkan,” katanya.***
Waratawan: Purwanda
Editor: Ayi Kusmawan