Masyarakat diminta mewaspadi pancaroba tahun ini. Masa peralihan inin, anatara lain ditandai dengan angin kencang, angin puting beliung, serta perubahan suhu dan cuaca ekstrem. Puncak musim huuan diperkirakan terjadi pad Januari hingga Februari2020.
DARA | JAKARTA – Awal musim penghujan tahun 2019-2020 di Indonesia diperkirakan mengalami kemunduran, masuk pada November-Desember. Puncaknya, pada Januari hingga Februari 2020.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Miming Saepudin, M.Si bersama pakar dan tim intelijen, di Gedung Sutopo Purwo Nugroho, Graha BNPB, Jakarta, kemarin. Karena itu, ia meminta masyarakat mewaspadai potensi ancaman bencana pada masa transisi musim atau pancaroba.
Ia mengungkapkan ciri-ciri pancaroba, yakni angin kencang, angin puting beliung, perubahan suhu dan cuaca ekstrem. Selain itu, hujan es hingga gelombang tinggi di pesisir pantai dan ancaman bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor dan tanah bergerak saat musim penghujan nanti.
Menurut perkiraannya, wilayah Indonesia yang akan memasuki awal musim penghujan dimulai dari bagian utara, yakni Provinsu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat hingga Provinsi Papua bagian utara. “Aceh dan Sumatera Utara harus siaga banjir dan tanah longsor. Puncak musim hujan diprediksi pada bulan Januari-Februari 2020. Oleh karena itu waspadai juga potensi cuaca ekstrem pada masa transisi musim (pancaroba) seperti puting beliung, hujan es, suhu ekstrem,” kata Miming.
Dalam satu pekan ke depan, potensi hujan diprediksi akan terjadi di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Selatan, sebagian besar Kalimantan, Sulawesi Tengah dan Provinsi Papua. Sedangkan gelombang tinggi akan terjadi di wilayah selatan dan barat daya Sumatera Selatan hingga wilayah selatan Pulau Jawa dengan perkiraan tinggi gelombang mencapai 2,5 meter. Kendati demikian BMKG masih memprediksi bahwa kondisi tersebut masih aman untuk penyeberangan laut.
Sebagai upaya dalam menghadapi bencana pada masa transisi musim dan bencana hidrometeorologi tersebut, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Agus Wibowo, menyebutkan, pihaknya telah menganggarkan dana sisa tahunan dengan total nilai 850 miliar. Dana tersebut merupakan Dana Siap Pakai (DSP) yang bisa digunakan untuk penanggulangan bencana di seluruh Indonesia hingga akhir tahun ini.
“Tidak hanya untuk bencana hidrometeorologi atau masa transisi musim saja, DSP ini juga berlaku untuk segala jenis bencana yang mungkin saja bisa terjadi hingga akhir tahun ini,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Kelompok Perencanaan Deputi Bidang Perencanaan dan Kerjasama, Badan Restorasi Gambut (BRG), Ir. Noviar, memaparkan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut hingga saat ini masih terdeteksi sebanyak 31.164 yang tersebar di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Provinsi Papua.
Berdasarkan temuan pihaknya di lapangan maupun pantauan satelit, hutan produksi masih mendominasi luasan karhutla. Hal itu menurut BRG dapat disimpulkan, masyarakat maupun koorporasi masih melakukan pembukaan dan pengelolaan lahan dengan cara yang tidak baik, salah satunya dengan cara dibakar.
Upaya BRG dalam mengatasi hal tersebut, dengan langkah “3 R”, yakni Rewetting, Revegetation, Revitalization. Rewetting merupakan upaya mengembalikan kodrat lahan gambut kembali basah dan membuat sekat-sekat kanal.
Revegetation,adalah penanaman pola maksimal dan pengkayaan tanaman. Sedangkan Revitalization adalah pembangunan alternatif komoditas dan sumber mata pencaharian masyarakat.
Dalam konteks yang sama mengenai bencana karhutla, Peneliti Ekologi Manusia Pusat Penelitian dan Kependudukan LIPI, Deny Hidayati, menyoroti bahwa kesiapsiagaan penduduk dalam menghadapi asap karhutla masih minim. Menurut dia, peran pemerintah daerah sebagai aktor dalam peningkatan kapasitas penduduk saat menghadapi asap karhutla masih terbatas.
“Selain itu, kearifan lokal sudah bergeser,” kata Deny.
Pihaknya berharap agar sinergitas antara masyarakat dengan upaya yang telah dilakukan pemerintah seperti program Desa Tangguh Bencana (BNPB), Masyarakat Peduli Api (KLHK) hingga Kelompok Tani Peduli Api (Kementan) dapat terbina dan berjalan secara baik. Sehingga, lanjut dia, keduanya dapat menjadi aktor penting dalam peningkatan kesiapsiagaan terhadap karhutla untuk ke depan.
Di sisi lain, menurut Kepala Bidang Mitigasi dan Gerakan Tanah PVMBG, Ir. Agus B, Indonesia masih berpotensi terjadi peristiwa pergerakan tanah hingga November 2019. Beberapa faktor seperti hujan, perubahan lahan, respon bumi saat hujan jatuh menjadi pemicu terjadinya pergerakan tanah tersebut.
Agus menuturkan, hal itu merupakan pola yang berulang, khususnya di Pulau Jawa. Oleh karena itu, perlu langkah pasti dalam menghadapi potensi ancaman bencana tersebut melalui peningkatan kapasitas dan pengetahuan masyarakat.
“Contohnya kita harus tahu lokasi rentan, tahu ancaman, tahu antisipasi, susun database. Jika ada retakan yang mengawali pergerakan tanah, maka harus membuat rambu. Jadi pahami, pantau dan lapor,” katanya.***
Editor: Ayi Kusmawan