Pembangunan ekonomi Indonesia terutama pada hilirisasi industri dengaan tujuan kemakmuran merupakan garis pemikiran almarhumah Eny Sri Hartati, demikian disampaikan Dr. Esther Sri Astuti, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Sabtu (9/10/2021).
DARA – “Hal itu senada dengan keinginan Presiden Jokowi yang menginginkan Indonesia menjadi negara berpenghasilan 5 besar dunia dalam pertumbuhan ekonomi pada 2045,” katanya pada webinar Mengenang 100 hari Dr Enny Sri Hartati bertema “Ekonomi Tumbuh dengan Daya Saing, Hilirisasi, dan Industri yang Kuat”.
Esther menyampaikan untuk mencapai hal Itu Indonesia harus menyelesaikan pekerjaan rumah, yakni tidak menjadi negara midle income trap. Sebelum Covid-19 sempat menjadi negara upper midle country, tapi dengan adanya pandemi status Indonesia kembali jadi negara berpendapatan menengah.
“Dibutuhkan transformasi ekonomi untuk bisa mewujudkan visi emas Indonesia 2045,” jelasnya.
Realitas struktur ekonomi Indonesia memang masih didominasi sektor primer tetapi dengan nilai tambah yang masih kurang. Padahal, potensi ekspor Indonesia dengan modal sumber daya alam termasuk luar biasa. Namun, perlu effort untuk bisa mendaptakan benefit dari komoditas dengan meningkatkan nilai tambah dari komoditas mentah diolah menjadi produk turunan sehingga bernilai signifikan untuk diekspor. Misalnya pada produk turunan dari sawit/CPO, kopi, cocoa, karet nikel, dan sebagainya .
Esther juga menyatakan dalam hal keberhasilan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Vietnam menjadi pemenang.
“Ketika relokasi perusahaan-perusahaan China ke Asia Tenggara akibat perang dagang China – USA, tidak ada satupun perusahaan China dan USA yang masuk merelokasi company ke Indonesia. Tapi memilih Vietnam terutama, dan Thailand serta beberapa negara lain,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Senin (11/1/0/2021).
Dari sisi struktur ekspor antara Indonesia dan Vietnam kurang lebih sama. Namun produk ekspor Vietnam telah diolah bukan hanya mengekspor bahan mentah tapi telah menjadi varian produk turunan yang bernilai tinggi.
“Barang-barang elektronik, industri transportasi yang dikembangkan. Memang untuk sukses kearah sana dibutuhkan modal dan tenaga kerja handal untuk mencapai hilirasi yang berhasil,” ujar Esther.
Esther juga mengungkapkan tantangan bahwa industri di Indonesia hanya mengadopsi 6% saja teknologi tinggi, dan 30% teknologi menengah.
“Harus disadari peran inovasi dan teknologi sangat krusial untuk mendukung hilirisasi yang sukses. Tentunya harus juga disupport oleh anggaran R & D yang selama ini masih sangat kurang. Demikian pula dengan peningkatan skill pekerja industri,” ujarnya.
Dr Eisha M Rachbini, ekonom INDEF mengungkapkan pokok-pokok pikiran alm. Eny Sri Hartati yang perlu dijadikan bahan perbaikan perekonomian nasional diantaranya adalah daya saing produk dalam negeri yang terus menurun dan tersisih produk impor.
Hal lainnya adalah bagaimana meningkatkan produktivitas industri. Sementara terlihat indeks Manufaktur (PMI) terus menurun dari 50.9 (2018) menjadi 49.7 (2019), dan 44,69 (2020). Untuk itu sangat diperlukan investasi yang memberikan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja.
“Diperlukan investasi terkait rantai pasok global dan kinerja perdagangan Indonesia. Sementara itu tercatat global competitiveness Index Indonesia terus turun dari semula diurutan 37 (2017), 45 (2018) dank e 50 pada 2019,” katanya.
Eisha menyatakan bahwa realitas daya saing industri manufaktur Indonesia berada pada ranking 40 dari 152 negara, dengan 44,2 % nya masih bertumpu pada sumber daya alam dengan teknologi rendah.
“Hal itu diperburuk oleh kinerja industri manufaktur nasional yang juga terus turun dari berkisar 11 % pada 1993, lalu anjlok pada 1998, dan setelah itu kinerja industri manufaktur dalam negeri hanya 5 % (2013). Kinerja industri pengolah juga jatuh dari sekitar 75,73 pada 2013 menjadi hanya 67,60 pada 2020,” ujarnya.
Eisha juga mengungkapkan dampak pandemi covid 19 terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebelum pandemi mencapai 5.0 % pada 2018, saat pandemi jatuh menjadi minus 2 %. Padahal secara long term economic growth, pertumbuhan ekonomi Indonesia masa orde baru pernah mencapai 7,1 % – 7,7 %.
Potensi industri manufaktur dan tantangannya ke depan dapat diberikan masukan beberapa hal yakni melakukan hilirisasi manufaktur berbasis komoditas sehingga mendorong ekspor dan memperbaiki neraca perdagangan.
“Tantangan yang dihadapi pertama, butuh investasi besar guna mendukung peningkatan value added komoditas. Kedua, Dibutuhkan kebijakan dan regulasi yang mendukung percepatan investasi dan hilirisasi sektor manufaktur. Ketiga, ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan,” katanya.***
Editor: denkur