Agama berpotensi mengendalikan perubahan iklim, karena sekitar 80 persen umat manusia saat ini memeluk agama. Jika seluruh umat manusia meneruskan gaya hidup saat ini, yang boros emisi GRK, maka bencana iklim seperti banjir akan terjadi.
DARA | MADRID – Agama berpotensi menggerakkan umat manusia untuk mengendalikan perubahan iklim. Terbukti, melalui sejumlah aksi nyata di berbagai belahan dunia.
Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, menyatakan hal iru seusai menjadi pembicara pada Konferensi Perubahan Iklim COP25 UNFCCC, di Paviliun Indonesia, Madrid, Spanyol, awal pekan ini.
Menurut dia, agama memiliki kekuatan untuk menggerakkan manusia pada hal-hal yang sifatnya abstrak. Sebut saja, lanjut dia, soal surga dan neraka yang secara fisik tidak diketahui.
Di sisi lain, dia menyebutkan, perubahan iklim yang secara nyata terjadi, belum mampu menggerakkan umat manusia secara masif untuk melakukan aksi mencegah pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK). Untuk itu, Yenny mengajak mengoptimalkan peran agama dan umatnya.
“Saya mengajak semua untuk hijrah melakukan tindakan untuk pengendalian perubahan iklim,” katanya, dilansir menlhk.go.id.
Masih menurut Yenny, upaya menggerakkan umat manusia agar beraksi dalam pengendalian perubahan iklim keliru jika hanya menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan. Seharusnya, lanjut dia, umat manusia juga disentuh hati dan perasaannya agar melakukan aksi konkrit.
Kemampuan menyentuh emosi umat manusia itulah yang dimiliki oleh agama. “Tidak bisa hanya sekadar fakta, harus sentuh juga emosinya,” ujar dia.
Dia menuturkan, selama ini kerap ada pertentangan antarkelompok beragama dengan pihak yang mengagungkan ilmu pengetahuan. Ia menyebutkan, dalam pembahasan soal asal-usul manusia.
Kelompok yang percaya manusia berevolusi dari kera kerap bertentangan dengan konsep penciptaan manusia yang diajarkan oleh agama. Namun pastinya, lanjut Yenny, jika seluruh umat manusia meneruskan gaya hidup saat ini yang boros emisi GRK, maka bencana iklim seperti banjir akan terjadi.
“Ketika saat itu terjadi, tidak ada perahu Nabi Nuh yang akan menolong kita,” katanya.
Besarnya potensi agama dalam pengendalian perubahan iklim, menurut dia juga, ia karena sekitar 80 persen umat manusia yang ada di bumi saat ini memeluk agama. Yenny menyaranakn, agar peran agama bisa optimal, maka organisasi keagamaan dan para pemuka agama harus dilibatkan sebagai pihak dalam pengendalian perubahan iklim.
Mereka juga harus mendapat edukasi dan difasilitasi, sehingga memahami apa penyebab dan dampak perubahan iklim. “Pemimpin keagamaan bisa menyebarkan dakwah baru tentang ancaman perubahan iklim.”
Apalagi, ia menambahkan, berbagai agama di dunia sesungguhnya mengajarkan tentang perlunya menjaga lingkungan hidup. Dalam ajaran Islam, ada konsep manusia sebagai khilafah- khilafah yang harus mengambil kepemimpinan dalam menjaga bumi.
Dalam agama Sikh, konsep tersebut juga ada dan harus dilakukan oleh semua pengikutnya. Ia menyebutkan, saat ini sudah banyak aksi nyata yang dilakukan oleh kelompok umat beragama.
Yenny mencontohkan saat menghadiri pertemuan ulama-ulama di Oman, dibahas tentang fikih (hukum Islam) penghematan air. Dia menuturkan, banyak juga sinagog yang kini menerapkan penghematan energi dan memanfaatkan energi bersih.
Sementara gereja-gereja banyak yang berinvestasi pada proyek yang berdampak pada pengendalian perubahan iklim. Menurut Yenny, fenomena keterlibatan kelompok beragama dalam pengendalian perubahan iklim juga terjadi di Indonesia.
Dua organisasi umat Islam terbesar di Indonesia telah menjalin kerjasama dengan KLHK. Kedua organisasi tersebut, lanjut Yenny, NU dan Muhammadiyah, kerap melakukan aksi yang bermanfaat bagi lingkungan hidup seperti menanam mangrove, mendaur ulang sampah, dan tidak menggunakan plastik sekali pakai.
Dia berharap peran seperti itu bisa terus diperkuat. “Kita beruntung kerja sama antara pemerintah dan organisasi kemasyarakatan di Indonesia erat,” katanya.***
Editor: Ayi Kusmawan