Alarm Matinya Nalar Kemanusiaan Pejabat Indonesia
Oleh: Syalaisha Nauraniah| Mahasiswa Ilmu Komunikasi President University

Aparat sibuk membungkam suara muda, sementara wakil rakyat justru sibuk berjoget di ruang parlemen.
INDONESIA sedang berada di titik nadir akal sehat. Rangkaian peristiwa belakangan ini menjadi bukti bahwa nalar kemanusiaan para aparat dan pejabat publik telah mati suri, bahkan mungkin terkubur dalam-dalam.
Tragedi aparat kepolisian menabrak Affan Kurniawan dan Pa Umar bukan sekadar “kecelakaan,” melainkan cermin betapa nyawa rakyat diperlakukan seolah tak lebih dari angka statistik. Alih-alih hadir dengan empati dan tanggung jawab, negara justru bungkam. Seolah-olah darah rakyat hanya cipratan kecil yang bisa dihapus dengan pernyataan permintaan maaf kosong.
Di sisi lain, rakyat yang mencoba bersuara melalui aksi demonstrasi justru ditangkap. Pelajar yang berani turun ke jalan demi keadilan diperlakukan bak kriminal. Aparat sibuk membungkam suara muda, sementara wakil rakyat justru sibuk berjoget di ruang parlemen.
Sebuah Ironi Menyakitkan
Ketika rakyat berdarah-darah menanggung beban hidup, para “pejabat terhormat” memilih berpesta dengan kenaikan tunjangan di atas penderitaan bangsa. Lebih parah lagi, ketika anggota DPR RI Ahmad Sahroni dengan enteng menyebut rakyat “tolol.” Pernyataan semacam ini hanyalah satu contoh dari wajah telanjang para pejabat yang kehilangan moral dan nalar kemanusiaan.
“Ketika polisi menabrak rakyat, ketika anggota DPR menghina rakyat, dan ketika pelajar ditangkap hanya karena menyuarakan keadilan, itu tanda jelas negara ini telah dikhianati dari dalam,” tegas Satria Hari Pratomo, Ketua BEM President University 2024.
Hari ini kita menyaksikan secara nyata. Ini bukan lagi pertarungan politik antara pemerintah dan oposisi. Yang terjadi adalah rakyat versus pemerintah. Oposisi tak lebih dari ornamen demokrasi yang ompong, sementara rakyat terus-menerus menjadi tumbal. Indonesia kian sold out—bukan hanya aset bangsanya yang dijual murah, tapi juga harga diri rakyatnya.
“Indonesia sedang dijual murah. Bukan hanya tambang, bukan hanya sumber daya, tapi juga martabat rakyat. Seakan-akan bangsa ini bukan lagi milik rakyatnya, melainkan milik segelintir elit yang mabuk kuasa. Suara rakyat dianggap sampah, sementara kepentingan oligarki dipuja-puja. Jangan pernah remehkan suara rakyat, sebab suara rakyat adalah bara yang kelak bisa membakar tirani,” tutup Satria.
Editor: Maji