Koruptor FIght Back: Demo Agustus, Mafia Tambang, Koruptor dan Ujian Awal Prabowo
Oleh : Tb Raditya Indrajaya, Pengamat Sosial Politik

Demo besar akhir Agustus kemarin bukan demo biasa. Dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, sampai Sidoarjo, jalanan penuh massa. Mahasiswa turun, buruh teriak, ojol marah, rakyat ikut berdesakan. Gedung DPRD terbakar, halte Transjakarta hancur, pos polisi dilalap api. Negeri ini seperti kembali ke masa-masa genting.
Pemicunya? Tunjangan DPR Rp 50 juta per bulan.
Rakyat wajar murka. Bayangkan, harga beras makin naik, minyak goreng mahal , ongkos sekolah menjerat, pajak naik, Sementara wakil rakyat—yang katanya terhormat—minta “uang kos” sebesar gaji direktur BUMN. Logikanya miring, rakyat pun tersulut.
Tapi, ini bukan cuma soal tunjangan DPR. Itu hanya pemantik. Api marah rakyat sebenarnya sudah lama menunggu. Dan demo Agustus jadi panggung terbuka bagi oknum-oknum koruptor dan mafia lama untuk fight back kepada Presiden Prabowo.
Mari kita lihat. Belakangan ini, kasus-kasus besar mulai diusut:
Korupsi Pertamina, nilainya triliunan.
Kasus timah dan tambang-tambang lain, merugikan negara puluhan triliun.
Mafia nikel, batubara, emas—semua punya jaringan kuat.
Lalu di layar kaca kita lihat parade arogansi: oknum polisi pamer supercar dan mobil mewah kehiduoannya high class, oknum jaksa hidup bak konglomerat, oknum hakim punya rumah dan villa, Bukannya jadi benteng keadilan, malah jadi etalase kekayaan.
Ketika Prabowo datang dengan agenda bersih-bersih—tutup judi online, benahi pangan, usik tambang ilegal, rapikan BUMN—siapa yang paling gelisah? Ya, oknum-oknum yang selama ini hidup dari rente dan bancakan.
Dan bagaimana cara melawan Presiden? Bukan lewat argumentasi di parlemen, bukan lewat jalur hukum. Cara paling murah dan efektif adalah dorong demo, bikin chaos, goreng opini publik bahwa pemerintah gagal menjaga stabilitas.
Rakyat Jadi Tameng
Inilah tragedi sesungguhnya. Rakyat yang marah tulus, mahasiswa yang idealis, buruh yang menuntut keadilan kerja, ojol yang kehilangan saudara karena ditembak—semuanya jadi tameng sosial dalam perang antara Presiden dan para oknum koruptor.
Yang terbakar bukan cuma halte, tapi juga harapan rakyat kecil. Yang roboh bukan cuma gedung DPRD, tapi juga kepercayaan pada negara yang seharusnya melindungi.
Padahal rakyat kita sederhana. Tidak minta vila, tidak minta mobil sport. Mereka hanya ingin beras murah, sekolah anak terjangkau, kerja yang manusiawi, dan pemimpin yang jujur. Tapi ketika oknum DPR pamer tunjangan, oknum aparat pamer kekayaan, oknum pejabat tambang main proyek, rakyat bertanya: negara ini milik siapa?
Kesempatan Emas Prabowo
Inilah kesempatan emas dan ujian besar Presiden Prabowo. Kalau ia kompromi, ia akan dianggap sama saja—presiden yang ikut larut dalam bancakan oknum. Tapi kalau ia berani berdiri tegak, membela rakyat, membatalkan tunjangan DPR, menyeret korupsi Pertamina, timah, batubara, sekaligus menertibkan dan membersihkan oknum oknum di eksekutif, legislatif dan yudikatif yang arogan serta mengeluarkan UU perampasan asset san pembuktian terbalik, maka ia bisa keluar sebagai presiden rakyat sejati.
Sejarah jarang memberi kesempatan emas. Dan Agustus 2025 ini bisa jadi momentum: sekali gebrak, Prabowo bisa mengukir namanya sebagai presiden yang melawan oknum-oknum perusak negeri.
Demo Agustus 2025 adalah panggung koruptor yang fight back. Mereka panik, lalu menunggangi kemarahan rakyat untuk menyerang balik. Tapi bagi Prabowo, ini juga bisa jadi peluang untuk memperkuat legitimasi.
Rakyat sudah muak dengan oknum DPR yang rakus, oknum aparat yang arogan, dan oknum mafia tambang yang serakah. Rakyat sedang menunggu: apakah presidennya berdiri di pihak mereka, atau malah duduk manis bersama para oknum busuk itu?
Sejarah sedang menulis bab baru. Bab di mana Presiden Prabowo bisa dikenang sebagai pemimpin yang berani membersihkan republik ini. Atau, sebaliknya, hanya jadi catatan tambahan dalam daftar panjang penguasa yang kalah oleh oknum.