Logo
Daerah

Kemenbud Luncurkan Program Gerakan Seniman Masuk Sekolah

Kerjasama dengan Komisi X DPR RI

Kemenbud Luncurkan Program Gerakan Seniman Masuk Sekolah
Kegiatan Sosialisasi Penguatan Nilai Budaya ke Sekolah, di Ballroom Hotel Harmoni, Jalan Cipanas Baru, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, Minggu (23/22/2025).(Foto: andre/dara)

Dunia pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter bangsa.


DARA| Kementrian Kebudayaan Republik Indonesia bekerjasama dengan Komisi X DPR RI mendorong seluruh jenjang pendidikan fokus memperkuat karakter dan jati diri budaya siswa guna menyongsong Indonesia Emas 2045.

Salah satunya dengan menyiapkan Program Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS), sebagai langkah strategis menghadapi fenomena krisis identitas pada anak-anak dan remaja.

Kepala Subdirektorat Pemberdayaan Nilai Budaya, Direktorat Pemberdayaan Nilai Budaya dan Pelindungan Hak Kekayaan Intelektual pada Kemenbud, Bobby Fernandes, mengatakan bahwa GSMS dirancang untuk menghadirkan para seniman langsung ke ruang-ruang belajar formal.

"Dunia pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter bangsa. Karena itu, kehadiran seniman di sekolah diharapkan dapat memperkaya proses belajar mengajar melalui pendekatan budaya yang dekat dengan keseharian siswa," ujarnya usai kegiatan Sosialisasi Penguatan Nilai Budaya ke Sekolah yang dilaksanakan di Ballroom Hotel Harmoni, Jalan Cipanas Baru, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut pada Minggu (23/22/2025.

Menurut Bobby, sekolah selama ini telah memiliki sejumlah kegiatan berbasis budaya, terutama dalam kegiatan ekstrakurikuler. Namun melalui GSMS, ungkapnya, penyampaian nilai-nilai budaya dapat dilakukan lebih terarah dan sistematis bersama para pelaku seni.

"Ada sinergi antara seniman dan sekolah. Ini hubungan mutualisme. Seniman mendapat ruang ekspresi, sekolah terbantu menguatkan karakter siswa lewat praktik-praktik budaya," ucapnya.

Bobby menyebutkan, bahwa Kemenbud kini sedang merumuskan konsep implementasi GSMS agar dapat dijalankan tepat sasaran. Program ini ditargetkan dapat mulai bergulir pada tahun ini atau pada 2026, setelah seluruh instrumen pendukungnya siap.

Bobby menuturkan, dalam pelaksanaannya seniman dan guru di sekolah akan berkolaborasi membuat proyek-proyek pembelajaran yang menonjolkan nilai-nilai budaya lokal. Bobby mencontohkan, nilai kedisiplinan dapat dikemas melalui seni pertunjukan, musik tradisional, hingga kegiatan seni rupa.

"Ada kepala sekolah, seniman, guru seni, dan dinas terkait yang bersama-sama menyusun bentuk pembelajaran dan nilai budaya berdasarkan lokalitas," katanya.

Ia menambahkan, bahwa jumlah seniman di Indonesia sangat banyak sehingga tidak menjadi kendala. Tantangan sesungguhnya, menurut Bobby, adalah bagaimana menjembatani mereka agar dapat terlibat langsung menyampaikan nilai budaya kepada siswa di berbagai tingkat pendidikan, mulai SD hingga SMA sederajat.

"Untuk itu, Kemenbud tengah menyiapkan payung hukum agar GSMS memiliki dasar legal kuat. Kebijakan tersebut dapat berupa peraturan menteri, surat keputusan bersama, atau bahkan peraturan presiden, yang saat ini masih dalam pembahasan lintas kementerian," ucapnya.

Anggota Komisi X DPR RI, Ferdiansyah.(Foto: andre/dara)

Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI, Ferdiansyah, menilai penguatan nilai budaya di sekolah menjadi kebutuhan mendesak. Ia menyoroti meningkatnya persoalan sosial seperti perundungan, pelecehan, kecanduan gawai, hingga menurunnya kepedulian sosial di kalangan pelajar.

Menurut Ferdiansyah, penanaman nilai budaya dapat dimulai dari hal sederhana yang dapat dilakukan setiap hari. Ia mencontohkan budaya senyum, sapa, salam, dan hormat, sebagai langkah mudah namun berdampak besar dalam membentuk karakter siswa. Ia mengingatkan pentingnya menjaga bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bagian dari identitas budaya.

"Anggapan bahwa bahasa lokal tidak menarik terbukti keliru, karena justru bahasa yang dekat dengan masyarakat dapat menjadi daya tarik tersendiri," katanya.

Ferdiansyah juga menekankan peran pendidik sebagai teladan. Guru, katanya, harus menjadi model perilaku budaya yang baik, termasuk disiplin waktu dan tata krama dalam keseharian di sekolah. Sekolah juga tidak boleh merasa bangga hanya karena jumlah murid banyak atau fasilitas memadai, jika lingkungan sekitar sekolah justru rentan terhadap masalah sosial seperti narkoba dan kriminalitas.

"Jadi pendidikan berbasis budaya harus membentuk karakter siswa sekaligus memperbaiki ekosistem sosial di luar sekolah," ujarnya.

Ferdiansyah berharap, melalui GSMS dan penanaman nilai budaya yang berkelanjutan, daerah seperti Garut dapat dikenal sebagai wilayah yang memiliki masyarakat berkarakter kuat, santun, dan berbudaya. Menurutnya, pendidikan berbasis budaya harus menjadi fondasi pembangunan karakter generasi muda.


Editor: Maji